Antikorupsi dan Instrumen Antikorupsi di Indonesia - Perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) merupakan perilaku yang harus dihilangkan untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih, kuat, dan berwibawa. Mewujudkan peme rintahan yang bersih, kuat, dan berwibawa bukan sesuatu yang mudah karena banyak masalah yang meliputinya. Perwujudan hal tersebut dapat dilakukan dengan menghilangkan perilaku kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Oleh karena itu, untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme maka pemerintah telah menetapkan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyeleng garaan Negara yang Bersih dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.
Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, yang dimaksud dengan perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah sebagai berikut.
Disarikan dari www.tempointeraktif.com
Dari kasus di atas, diskusikanlah dalam kelompok belajarmu mengenai hal-hal berikut.
1. Apa masalah yang terdapat dalam bacaan tersebut?
2. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
3. Apa kaitannya dengan materi bab ini?
4. Berikan solusi dari kelompokmu dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Berdasarkan gambaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat merugikan bangsa dan negara, tidak hanya dalam aspek ekonomi, melainkan seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, untuk menegakkan kewibawaan pemerintah dan mewujudkan kepastian hukum maka penegakan peraturan perundangan tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme mutlak untuk dilaksanakan. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, kemudian dilengkapi dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memuat peraturan yang tegas tentang konsekuensi hukum bagi pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sanksi hukum bagi pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah sebagai berikut.
a. Pasal 2 Ayat 1
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyaknya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ayat 2
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
b. Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, me nyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
c. Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Peraturan perundangan telah mengatur dengan tegas hukum an dan sanksi yang dapat dikenakan bagi pelaku tindak pidana KKN. Namun, penegakan hukum ini tidak semudah yang kita bayangkan karena membutuhkan partisipasi rakyat, ketegasan penegak hukum, dan kemauan politik para penyelenggara negara.
Perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar norma agama, Pancasila, dan UUD 1945. Oleh karena itu, untuk me wujudkan hal tersebut marilah kita mulai dalam kehidupan terkecil di lingkungan kita, seperti dengan menerapkan perilaku jujur dan mandiri. Orang yang jujur akan berperilaku tidak pernah membohongi aturan dan tidak membohongi siapapun karena dia akan berpegang kepada kata hati yang terbaik dan orang yang mampu mandiri tidak akan melakukan tindakan kolusi dan nepotisme.
Oleh karena itu, untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme maka pemerintah telah menetapkan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyeleng garaan Negara yang Bersih dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.
Antikorupsi dan Instrumen Antikorupsi di Indonesia
Dalam undang-undang (peraturan) tersebut dinyatakan bahwa penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif (kekuasan untuk melaksanakan Undang-Undang), legislatif (kekuasaan untuk membuat dan menetapkan Undang-Undang), dan yudikatif (kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili Pelanggaran Undang-Undang) serta pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya adalah berkaitan dengan penyelenggara an negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Antikorupsi dan Instrumen Antikorupsi di Indonesia |
Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, yang dimaksud dengan perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah sebagai berikut.
- Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ke tentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi. Dalam arti sempit, korupsi diartikan penyelewengan atau penggelapan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi tidak hanya berupa korupsi uang, tetapi juga dapat berupa korupsi intelektual dan korupsi waktu.
- Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama melawan hukum antara penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, atau negara.
- Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan keluarganya dan atau kroninya di atas ke pentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
1. Hukum
- Sistem hukum tidak lagi berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan hukum.
- Besarnya peluang eksekutif mencampuri badan peradilan.
- Hilangnya kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
- Sistem hukum dan peradilan dapat dikendalikan dengan uang.
- Hilangnya perlindungan hukum terhadap rakyat terutama rakyat miskin.
- Peradilan dan kepastian hukum menjadi bertele-tele karena di salahgunakan oleh aparat penegak hukum.
2. Politik
- Terpusatnya kekuasaan pada pejabat negara tertentu (pemerintah pusat).
- Daerah dan pemerintah daerah sangat bergantung pada pemerintah pusat. Hal ini mematikan daya kreasi dan inovasi daerah serta berujung kepada tindak penyuapan pejabat pusat untuk melancarkan pembangunan daerah.
- Lemahnya sikap mental dan moralitas para penyelenggara negara.
- Terhambatnya kaderisasi dan pengembangan sumber daya manusia Indonesia.
- Terjadinya ketidakstabilan politik karena rakyat tidak percaya terhadap pemerintah.
- Diabaikannya pembangunan nasional karena penyelenggara negara disibukkan dengan membuat kebijakan populis bukan realistis.
3. Ekonomi
- Pembangunan dan sumber-sumber ekonomi di kuasai orang yang berada di lingkaran kekuasaan.
- Munculnya para pengusaha yang mengandalkan kebijakan pemerintah bukan berdasarkan kemandirian.
- Rapuhnya dasar ekonomi nasional karena pertumbuhan ekonomi bukan didasarkan pada kondisi sebenarnya.
- Munculnya para konglomerat yang tidak memiliki basis ekonomi kerakyatan.
- Munculnya spekulan ekonomi yang menjatuhkan ekonomi secara keseluruhan.
- Hilangnya nilai moralitas dalam berusaha, yakni diterap kanya sistem ekonomi kapitalis yang sangat merugikan pengusaha menengah dan kecil.
- Terjadinya tindak pencucian uang (money laundring) yang di lakukan pejabat dengan pengusaha yang merugikan negara.
4. Sosial Budaya
- Hilangnya nilai-nilai moral sosial. Hal ini disebabkan masyarakat melihat banyak perilaku KKN para penyelenggara negara. Dengan demikian, rakyat pun melakukan tindakan pasif bahkan cenderung anarki.
- Hilangnya figur pemimpin dan contoh teladan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
- Berkurangnya tindakan menjunjung tinggi hukum, berkurangnya kepedulian dan kesetiakawanan.
- Lunturnya nilai-nilai budaya bangsa.
Korupsi di Daerah Meningkat
Jumlah tindak pidana korupsi di pemerintah daerah meningkat seiring dengan peningkatan uang yang dikelolanya. “Setidaknya peningkatan itu terjadi selama tiga tahun terakhir ini,” kata Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf pada acara sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2006 bagi sekretaris daerah dan badan pengawasan daerah provinsi, kabupaten, dan kota di Kantor Departemen Dalam Negeri, Jakarta, kemarin. Sejak dicanangkan pelaksanaan otonomi daerah pada 2001, dana anggaran pendapatan dan belanja negara yang disalurkan ke daerah berjumlah Rp 81,47 triliun. Jumlah ini semakin meningkat jika dibandingkan dengan 2006, yakni Rp 220,07 triliun, naik 170,10 selama lima tahun. Karena itu, kata dia, harus ada penyempurnaan manajemen keuangan daerah, yang selama ini masih menganut sistem lama. Ia berharap, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2006 bisa memperbarui sistem untuk meningkatkan pengawasan dan pertanggungjawaban setiap rupiah dana yang dianggarkan APBD.Disarikan dari www.tempointeraktif.com
Dari kasus di atas, diskusikanlah dalam kelompok belajarmu mengenai hal-hal berikut.
1. Apa masalah yang terdapat dalam bacaan tersebut?
2. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
3. Apa kaitannya dengan materi bab ini?
4. Berikan solusi dari kelompokmu dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Berdasarkan gambaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat merugikan bangsa dan negara, tidak hanya dalam aspek ekonomi, melainkan seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, untuk menegakkan kewibawaan pemerintah dan mewujudkan kepastian hukum maka penegakan peraturan perundangan tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme mutlak untuk dilaksanakan. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, kemudian dilengkapi dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memuat peraturan yang tegas tentang konsekuensi hukum bagi pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sanksi hukum bagi pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah sebagai berikut.
1. Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Berikut ini beberapa pasal dari UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantas tindak pidana korupsi, yang memberikan sanksi bagi para pelaku korupsi.a. Pasal 2 Ayat 1
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyaknya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ayat 2
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
b. Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, me nyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
c. Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
2. Pelaku Tindak Pidana Kolusi
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Pasal 21, ditegaskan bahwa bagi penyelenggara negara dan anggota komisi pemeriksa yang melakukan tindakan kolusi yang merugikan negara pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).3. Pelaku Tindak Pidana Nepotisme
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Pasal 22, ditegaskan bahwa bagi penyelenggara negara dan anggota komisi pemeriksa yang melakukan tindakan nepotisme yang merugikan negara dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Peraturan perundangan telah mengatur dengan tegas hukum an dan sanksi yang dapat dikenakan bagi pelaku tindak pidana KKN. Namun, penegakan hukum ini tidak semudah yang kita bayangkan karena membutuhkan partisipasi rakyat, ketegasan penegak hukum, dan kemauan politik para penyelenggara negara.
Perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar norma agama, Pancasila, dan UUD 1945. Oleh karena itu, untuk me wujudkan hal tersebut marilah kita mulai dalam kehidupan terkecil di lingkungan kita, seperti dengan menerapkan perilaku jujur dan mandiri. Orang yang jujur akan berperilaku tidak pernah membohongi aturan dan tidak membohongi siapapun karena dia akan berpegang kepada kata hati yang terbaik dan orang yang mampu mandiri tidak akan melakukan tindakan kolusi dan nepotisme.
Rangkuman
Mematuhi setiap peraturan perundang-undangan merupakan pengamalan dari nilai-nilai Pancasila terutama sila ke lima yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”- Menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional, yaitu:
- UUD 1945;
- Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
- Peraturan pemerintah (PP);
- Peraturan Presiden (Perpres);
- Peraturan Daerah (Perda);
- Hukum dibuat dengan tujuan mulia, yaitu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dan dapat menciptakan ketertiban dan ketenteraman.
- Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 mengamanatkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Landasan Konstitusional dan Hukum Dasar tertinggi di Indonesia adalah UUD 1945 dengan ketentuan bahwa perundang-undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi.
- Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
- Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan bukti kuat bahwa pemerintah ingin benar-benar memberantas tindak korupsi.