Menjelaskan Sifat-sifat Tokoh dari Kutipan Novel

Menjelaskan Sifat-sifat Tokoh dari Kutipan Novel - Pada pembahasan materi bahasa Indonesia kali ini mengenai menjelaskan sifat-sifat toko dalam sebuah kutipan karya novel dan juga tentang menentukan tokoh, sifat-sifat tokoh serta membuat kesimpulan dari isi novel yang dibaca, untuk lebih jelasnya dapat kalian simak dalam penjelasan singkat berikut ini!

Menentukan tokoh, sifat-sifat tokoh, serta menyimpulkan isi novel yang dibaca

Novel merupakan salah satu genre (bagian) sastra yang paling representatif (mewakili) dari masyarakat dan peradabannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Teeuw bahwa kehadiran karya sastra tidak dalam kondisi kosong, artinya karya sastra hadir selalu menggambarkan kondisi zamannya.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika kalian mendengarkan pembacaan kutipan novel di antaranya konsentrasi yang cukup. Hal ini diperlukan karena sifat pembacaan novel hanya sekali ucap. Jika konsentrasi tidak kalian lakukan dengan baik, kalian akan kehilangan data-data yang diperlukan terkait dengan isi novel tersebut. Untuk itulah, kesabaran dalam hal mendengarkan sesuatu juga sangat mutlak diperlukan.
Menjelaskan Sifat-sifat Tokoh dari Kutipan Novel
Menjelaskan Sifat-sifat Tokoh dari Kutipan Novel

Pada saat pembacaan kutipan novel sedang berlangsung, buatlah catatan-catatan kecil. Catatan-catatan kecil itu akan membantu kalian mendeskripsikan sifat-sifat tokoh yang terdapat dalam novel serta membantu kalian menyimpulkan isi novel tersebut. Untuk meningkatkan kemampuan kalian, simaklah pembacaan kutipan novel berikut ini.

Salah Asuhan
“Syafei jangan diceraikan dengan ibunya, Bu!”

“Maksud Ibu, kalau ia datang bersama-sama dengan Rapiah.”

Air muka Hanafi segera berubah pula, lalu berkata dengan tetap, ”Janganlah Ibu mengenang-ngenangkan juga hal yang serupa itu. Istriku hanyalah Corrie!”

Ibunya berdiam diri pula; dan semenjak itu mulut Hanafi bagai terkatup pula dan tiadalah ia memberi jalan kepada ibunya buat berunding-runding lagi.

Perangainya mulai menguatirkan pula.

Makannya mulai kurang; dan setiap malam hampir-hampir tak tidurlah ia. Mukanya makin pucat, sedang matanya cekung, berwarna biru selingkarannya. Ke sawah ia sudah jarang-jarang, kebanyakan ia tinggal berkubur saja di dalam kamarnya.

Pada suatu malam, dekat hendak Subuh, terperanjatlah ibu Hanafi mendengar anaknya mengerang. Oleh karena Hanafi tidak pernah mengunci pintu kamarnya, dengan mudah orang tua itu sudah masuk ke dalam, lalu terkejut melihat keadaan anaknya. Hanafi tidur manangkup, kepalanya menjulur ke luar tempat tidur. Sedang sprei dan tikar pandannya yang ada di muka tempat tidurnya sudah penuh berlumur darah.

“Hanafi! Hanafi! Anakku! Apakah yang sudah terjadi atas dirimu?” demikian ibunya sudah menjerit.

“Tidak berarti, Bu … sakit perut. Tapi … sudah mulai baik.” Seketika ibunya sudah membetuli tidurnya.

“Engkau muntah-muntah darah, Hanafi!

Oh, Anakku, siapakah kiranya yang khianat memberi engkau makanan berbisa?” “Sudah penyakitku … serupa itu, Bu. Dahulu sekali … di Betawi.”

Tapi belum sampailah Hanafi kepada meminum segala obat-obat penawar itu, maka datanglah dokter dengan tergopoh-gopoh....

Hanafi memandang segala perbuatan dokter itu dengan senyum, lalu berkata di dalam bahasa Belanda, “Apakah Tuan … tidak tahu … penyakitku?”

“Tahu betul, Tuan Han!”

“Nah … sublimat, bukan … terminum dengan … kesalahan … tapi … sengaja.” “Benar, tapi aku wajib menolong Tuan.” “Sia-sia … banyak kutelan … Tuan tidak berhak … aku sengaja … mau pergi!”

“Tuan harus kasihan kepada ibu Tuan, kepada anak bini Tuan. Perbuatan serupa ini perbuatan kasar, laku … pengecut! Maaf Tuan Han, kalau saya berkata kasar. Tapi laku tersebut bukanlah laku orang yang berani.”

“Memang … kasihan! … Ah ibuku … aku pengecut tapi hidupku kosong … habislah cita-cita … baik enyah!”

“Setiap orang tiadalah hidup buat cita-cita saja, tapi terutama buat kewajiban. Kewajiban pada ibunya, kewajiban pada anak istrinya.”

“Dokter tahu … hal saya?”

“Tahu betul, Tuan Han! Anak-anak kampung pun tidak ada yang mengetahuinya.”

“Nah … kewajiban itu … sudah … lama kusia … siakan.”

“Itulah sebabnya maka Tuan sekarang lebih daripada wajib pula memperbaiki segala kealpaan itu. Marilah obat-obat sudah siap. Saya mesti memompa isi perut keluar. Lihatlah keadaan ibu Tuan yang sangat pula kuatirnya. Jika Tuan tidak memberi sempat kepada saya buat bekerja dengan selesai, tentu saya terpaksa memakai kekerasan.”

“Pompalah dokter … kasihan ibuku … Dokter ... jangan dikatakan … aku ini mi … num sublimate.”

“Mari kuikhtiarkan buat menolong jiwa Tuan. Kewajiban Tuan, kewajiban saya sendiri akan melakukan segala ikhtiar, supaya Tuan sembuh kembali.”

“Dokter … tahu percintaan?”

“Tuan Han, bagi Tuan amat melarat, jika berkata-kata panjang. Baiklah Tuan mendengarkan saja apa yang hendak saya tuturkan, sebagai dokter dan sebagai manusia.

Kita berhadapan sebagai orang yang sama-sama terpelajar, sama-sama sopan, sama-sama muda, dan sudah tentu sama-sama pula mengetahui dan menderita akan arti cinta.

Dengarlah! Sepanjang pendapat saya, cinta itu akan berbukti benar, bila yang menaruhnya tahu menaruh sabar, tahu menegakkan kepalanya di dalam segala rupa mara bahaya serta rintangannya. Cinta itu tahu memberi korban, jika perlu. Jika orang yang bercinta seketika saja sudah menundukkan kepala atau mencari jalan hendak … lari, setiap bertemu rintangannya, tidak sucilah cinta itu. Ingatlah, selain daripada istri yang hilang, Tuan masih punya ibu dan mempunyai anak. Kedua makhluk itu berhak pula atas cinta Tuan, dan tak adalah beringin besar tempat berlindung, tiang teguh tempat bersandar bagi mereka, hanyalah Tuan.

Kewajiban terhadap anak yang masih kecil dan kepada ibu yang sudah tua itu harus dijadikan suatu cita-cita yang besar, dan tersesatlah Tuan secara Tuan berkata tadi, bahwa hidup Tuan sudah kosong, tidak menaruh cita-cita lagi, seolah-olah hendak mencucikan dan hendak meneguhkan cinta Tuan kepada seseorang perempuan yang sungguh Tuan cintai, haruslah Tuan terlebih dahulu memegang teguh akan segala kewajiban karena manusia yang tahu kewajiban itulah saja yang boleh dikatakan manusia, yang layak menaruh dan menerima cinta.
(Abdoel Moeis, 1987)

Pada petikan novel Salah Asuhan diatas terdapat beberapa kalimat majemuk setara. Kalimat majemuk setara mempunyai ciri-ciri (1) dibentuk dari dua atau lebih kalimat tunggal, (2) kedudukan tiap kalimat sederajat. Karena kalimat majemuk merupakan gabungan kalimat, lebih tepat rasanya jika kalimat-kalimat yang digabung itu disebut dengan istilah klausa.

Penghubung atau konjungtor yang menghubungkan klausa-klausa dalam kalimat majemuk setara, jumlahnya ada beberapa, di antaranya berikut.
  1. Penjumlahan: menyatakan penjumlahan atau gabungan kegiatan, keadaan, peristiwa, dan proses. Contoh: dan, serta, baik, maupun.
  2. Pertentangan: menyatakan apa yang dinyatakan dalam klausa pertama bertentangan dengan klausa kedua. Contoh: tetapi, sedangkan, bukannya, melainkan.
  3. Pemilihan: menyatakan pilihan di antara dua kemungkinan. Contoh: atau.
  4. Perurutan: menyatakan kejadian yang berurutan. Contoh: lalu, kemudian.
Setelah mendengarkan pembacaan kutipan novel di atas, kalian dapat menyebutkan tokoh, menentukan sifat-sifat tokoh, dan menyimpulkan isi novel.

Kalian dapat menuliskan perincian hal-hal tersebut, sebagaimana berikut ini.
1. Tokoh-tokoh dalam novel “Salah Asuhan” di atas adalah Hanafi, ibu, dan dokter.
2. Sifat-sifat tokoh yang dapat kamu identifikasi adalah berikut.

a. Hanafi adalah sosok yang mudah putus asa karena sesuatu yang dicita-citakannya tidak tercapai kemudian ia mencari jalan pintas, mengakhiri hidup dengan meminum sublimate (racun pembunuh kuman).

Kutipannya sebagai berikut.
“Sepanjang pendapat saya, cinta itu akan berbukti benar, bila yang menaruhnya tahu menaruh sabar, tahu menegakkan kepalanya di dalam segala rupa mara bahaya serta rintangannya. Cinta itu tahu memberi korban, jika perlu. Jika orang yang bercinta seketika saja sudah menundukkan kepala atau mencari jalan hendak … lari, setiap bertemu rintangannya, tidak sucilah cinta itu. Ingatlah, selain daripada istri yang hilang, Tuan masih punya ibu dan mempunyai anak. Kedua makhluk itu berhak pula atas cinta Tuan, dan tak adalah beringin besar tempat berlindung, tiang teguh tempat bersandar bagi mereka, hanyalah Tuan. Kewajiban terhadap anak yang masih kecil dan kepada ibu yang sudah tua itu harus dijadikan suatu cita-cita yang besar, dan tersesatlah Tuan secara Tuan berkata tadi, bahwa hidup Tuan sudah kosong, tidak menaruh cita-cita lagi, seolah-olah hendak mencucikan dan
hendak meneguhkan cinta Tuan kepada seseorang perempuan yang sungguh Tuan cintai, haruslah Tuan terlebih dahulu memegang teguh akan segala kewajiban karena manusia yang tahu kewajiban itulah saja yang boleh dikatakan manusia, yang layak menaruh dan menerima cinta.

b. Ibu adalah sosok yang menginginkan kehidupan anaknya bahagia, meskipun terkadang apa yang dilakukan oleh ibu belum tentu bisa diterima anaknya.

Kutipannya sebagai berikut.
“Syafei jangan diceraikan dengan ibunya, Bu!”
“Maksud Ibu, kalau ia datang bersama-sama dengan Rapiah.”
Air muka Hanafi segera berubah pula, lalu berkata dengan tetap, “Janganlah Ibu mengenang-ngenangkan juga hal yang serupa itu. Istriku hanyalah Corrie!”
Ibunya berdiam diri pula; dan semenjak itu mulut Hanafi bagai terkatup pula dan tiadalah ia memberi jalan kepada ibunya buat berunding-runding lagi.
“Hanafi! Hanafi! Anakku! Apakah yang sudah terjadi atas dirimu?” demikian ibunya sudah menjerit.

c. Dokter adalah sosok yang mau berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan hidup dan kehidupan orang lain, meskipun ia tahu bahwa kesempatannya kecil, tapi ia tidak berputus asa.

Kutipannya adalah berikut.
Hanafi memandang segala perbuatan dokter itu dengan senyum, lalu berkata di dalam bahasa Belanda, “Apakah Tuan … tidak tahu … penyakitku?”
“Tahu betul, Tuan Han!”
“Nah … sublimat, bukan … terminum dengan … kesalahan … tapi … sengaja.”
“Benar, tapi aku wajib menolong Tuan.”…
“Mari kuikhtiarkan buat menolong jiwa Tuan.
Kewajiban Tuan, kewajiban saya sendiri akan melakukan segala ikhtiar, supaya Tuan sembuh kembali.”

Kesimpulan isi novel

Isi novel berkisah tentang kehidupan seseorang yang menderita akibat cinta. Semestinya dengan kekuatan cinta, ia dapat menikmati hidup dan berbahagia. Sementara itu, pihak orang tua terus berharap agar anaknya dapat menikah dengan wanita pilihannya. Namun, Hanafi tetap bersikukuh bahwa istrinya adalah Corrie. Hanafi rela mengakhiri hidupnya demi memegang teguh cintanya.

Pada kutipan naskah teks novel Salah Asuhan, terdapat penggunaan preposisi. Preposisi adalah kata depan. Kata depan dalam bahasa Indonesia, seperti di, ke, dari, dan pada, selalu ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Sementara itu, kata daripada termasuk dalam kategori kata penghubung (konjungtor) dalam kalimat majemuk bertingkat perbandingan.

Perhatian contoh penggunaan kata dari dan daripada berikut.
1. Bram berasal dari keluarga terpelajar.
2. Kinerja Lely lebih baik daripada Tuti.


Sekian pembahasan mengenai Menjelaskan Sifat-sifat Tokoh dari Kutipan Novel dan juga tentang menentukan tokoh, sifat-sifat tokoh, serta menyimpulkan isi novel yang dibacakan, dapat mudah kalian pahami, selamat belajar!