Menganalisis Nilai-nilai Kehidupan pada Cerpen-cerpen dalam Satu Buku Kumpulan Cerpen - Kalian telah membaca cerpen-cerpen dalam satu buku kumpulan cerpen dan menganalisis unsur-unsur intrinsiknya. Sekarang kalian kembali membaca cerpen-cerpen dalam satu buku kumpulan cerpen dan menganalisis nilai-nilai kehidupan dalam cerpen-cerpen tersebut.
Perhatikan kedua cerpen berikut!
Cerpen 1
Alun-Alun Suryakencana
Karya: F. Rahardi
Seperti biasa, pagi itu Alun-Alun Suryakencana di Taman Nasional Gede Pangrango sangat cerah. Langit begitu biru dan bersih. Tak ada awan, tak ada kabut, dan tak ada angin. Matahari putih dan silau, tetapi udara masih juga dingin. Semula sepi. Hanya sekali-kali dipecah tawa, teriakan dan suara misting beradu dari arah tenda. Pagi itu, beberapa tenda pecinta alam tampak bertebaran di sekitar mata air, di tengah alunalun.
Selebihnya kosong sampai jauh. Alam yang senyap itu, tiba-tiba digusur bunyi yang gemuruh memekakkan telinga. Heli itu besar dan tahu-tahu menyembul begitu saja dari gerumbulan sentigi. Setelah berputar beberapa kali, ia mendarat di tempat yang lapang dan datar. Rumput, edelweis, dan rentetan rhododendron, semua meliukliuk mengikuti pusaran baling-baling heli. Semua seakan ingin roboh dan tiarap rata dengan tanah. Tetapi setelah baling-baling itu makin pelan dan berhenti, semua jadi biasa lagi.
“Ini sungguh hebat John! Luar biasa!
Mengapa baru sekarang saya diberitahu kalau ada alun-alun yang namanya apa ini tadi?” tanya si Bos itu kepada si John.
“Suryakencana, Pak! Inilah tempat yang paling eksotis untuk pesta pengantin. Bukan sekadar pesta kebun, tapi pesta alam. Tidak ada yang pernah punya gagasan seperti seorisinil Bapak. Orang mantu biasanya kan di Balai Kartini, Hilton, Manggala Warna Bhakti, paling banter Istana dan Kebun Raya Bogor. Atau Singapura, Hongkong, dan Mekah. Tapi Bapak lain, Bapak mendatangkan tamu-tamu pilihan itu ke Suryakencana!”
“Sudahlah John, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Inilah lokasi paling eksotis untuk resepsi pernikahan anakku. Ayo pulang dan segera membentuk panitia.”
Rapat panitia sore ini mendapat kehormatan dihadiri Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, dan beberapa dirjen. Semua manggut-manggut dan sepakat, bahwa perhelatan Bos Besar ini harus didukung secara politis dan ekonomis. Wartawan yang mengendus berita kontroversi ini segera memblow up-nya di media masing-masing. “Ini sudah sangat keterlaluan. Tidak bisa dibiarkan. Kita harus gerak!” teriak seorang aktivis lingkungan di depan para mahasiswa pecinta alam UI.
“Gila memang, beberapa teman kita, ternyata ada yang membelot ikut jadi panitia,” kata seorang seniman di warung Alex di TIM.
“Mereka harus kita sikat. Minggu depan kita harus menggelar demo. Menteri-menteri bego itu harus kita beri pelajaran.” Demo menentang resepsi pernikahan di Alun-Alun Suryakencana itu berlangsung seru. Koran dan televisi gencar mengekspos. Tokoh demonstran tampil dalam wawancara eksklusif. Pengantin laki-laki dan perempuan juga diuber infotainmen. Tetapi mereka berdua menghilang. Wartawan kecewa, tapi mereka tidak kehilangan akal. Menteri Kehutanan dicecar dengan pertanyaan gencar.
“Jadi Pak Menteri memang mengizinkan Taman Nasional kita diacak-acak untuk hurahura?” tanya wartawan. “Yang mau hura-hura siapa? Itu lokasi saya izinkan untuk resepsi pernikahan. Bukan untuk hura-hura seperti kalian kira,” jawab Menteri keras. “Saya dengar Pak Menteri telah terima amplop hingga izin keluar dengan lancar?”
“Ya memang saya sudah menerima amplop. Isinya permohonan izin dan proposal acara yang kalian ributkan ini.” “Berapa em Pak yang Bapak terima?” “Banyak sekali, namanya juga surat. Ada a, ada b, ada c, tentu juga ada emnya. Tapi saya ya hanya membaca. Tidak perlu menghitung huruf emnya.”
“Maksud saya, Bapak telah terima uang berapa em dari pengusaha yang akan mantu itu?”
“Lo, pasti beberapa em. Dia memang harus menyewa dan saya mematok harga tinggi. Kalian cek saja ke Sekjen.” “Untuk Bapak sendiri?” “Saya juga pernah mau dikasih tetapi saya tolak. Cukup begitu?”
“Anu Pak, katanya ...” “Sudahlah, nanti diselesaikan saja dengan Pak Dirjen!”
“Kalau sampai terjadi kebakaran, ya dipadamkan. Kebakaran di lokasi sulit seperti di Sumatra dan Kalimantan saja saya urus. Apalagi kebakaran di situ. Apa kalian ingin kalau ada kebakaran, saya diem saja?” “Bukan begitu Pak. Ini kan musim kemarau. Kalau nanti ada yang membuang puntung, lalu hutannya terbakar, kita kan makin jadi sorotan internasional. Modal asing akan sulit masuk lo, Pak!”
“Semua sudah disiapkan. Semua sudah diurus sampai detilnya. Saya sudah konsultasi ke Bapak Presiden dan beliau mengatakan bahwa saya harus jalan terus!” “Beliau malah ingin hadir dalam resepsi ini. Beliau juga mengatakan bahwa gagasan memanfaatkan Taman Nasional untuk resepsi pernikahan merupakan terobosan yang brilian.
Diharapkan para wisatawan baik asing maupun lokal, akan makin mengenal Taman Nasional kita, lalu mengunjunginya. Itu berarti devisa akan masuk.” Seminggu sebelum hajatan besar berlangsung, kesibukan sudah mulai tampak. Heli besar kecil hilir mudik. Kepala Taman Nasional telah menutup Gunung Gede Pangrango bagi pendakian umum.
Paspampres mulai menyisiri tempat-tempat yang mencurigakan. Semua pintu masuk pendakian dijaga ketat. Jalur-jalur yang biasa digunakan pencari kayu bakar dan pencari paku-pakuan semua dijaga tentara, polisi, mahasiswa pecinta alam, dan warga setempat.
Hari H itu pun tiba. Cuaca sangat cerah. Tak ada secuil awan pun tampak di langit. Heli demi heli berdengung dari Jakarta menuju Suryakencana. Semua membawa tamu VVIP. Suasana alun-alun itu sendiri sudah berubah dari hari-hari biasa. Meskipun sentigi, rhododendron, edelweis, dan rumput liar, semua masih tegak menjadi hiasan alami di antara tenda-tenda. Dan nun di tengah tenda-tenda kecil warna-warni itu, berdirilah sebuah tenda raksasa yang megah. Di tenda besar itulah para tamu agung akan duduk menyaksikan hajatan.
Presiden dan Wapres, diharapkan hadir tepat pukul 11.00 WIB. Hanya akan datang memberikan selamat kepada mempelai, foto bersama lalu pulang. Sebab kesibukan beliau berdua hari ini, memang luar biasa. Pukul 09.00 pagi, tamu-tamu sudah mulai datang. Mereka tidak langsung masuk tenda, melainkan berkeliling menikmati pemandangan yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya. Pukul 09.30 tamu yang datang makin banyak. Sebab pukul 10.00 akad nikah akan dimulai.
Pukul 09.45, mendadak kabut datang. Cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah gelap. Angin juga bertiup sangat kencang. Kabut makin tebal. Angin makin menggila. Hujan turun dengan lebat. Para tamu berlarian. Tenda-tenda kecil roboh dan terbang dibawa angin. Cuaca makin tak karuan. Tenda besar terguncang-guncang keras. Tiba-tiba sebuah tenda kecil terbang menghantam tenda besar itu. Tenda besar itu pun roboh. Sebagian terpalnya melambai-lambai dimainkan angin. Kain tenda itu terus berkibaran, bagai layar kapal yang tiangnya patah diterjang badai.
(Sumber: Kumpulan Cerpen Kompas, 2006)
– blow up/blow ap/ = memunculkan ke permukaan.
– rhododendron/’rowd ’dendr n/ = sejenis tumbuh-tumbuhan.
– VVIP(Very Very Important Person) = orang-orang yang sangat penting.
Cerpen 2
Sayuran
Karya: Zamhari Hasan
Sumirat maju selangkah. Kematian terasa dekat. Bayang-bayang kehidupan tergambar jelas di pelupuk mata. Peristiwaperistiwa berlalu-lalang sepadat kendaraan di jalan raya, berkelebat cepat dan tak dapat dihentikan. Dia telah berusaha lari dari bayang-bayang, tapi bayang-bayang tidak mau berlari. Ke mana dia berlari, di situlah bayang-bayang membayangi sepanjang waktu, membuat diri tak berkutik. Dia telah mengacuhkan, tapi bayang-bayang tetap hadir membayangi. Kini dia benar-benar tak berdaya.
Pagi yang cerah, embusan angin menyapu kulit wajah, menembus pori-pori tubuh, menusuk tulang, membuat tubuh menggigil. Pakaian yang digunakan tak mampu melawan angin pagi yang menusuk. Dia berusaha melawan rasa dingin, dengan semangat membara di hati, guna mengangkut sayuran di atas punggung, yang akan dijual di pasar. Gambar anak satu-satunya yang baru masuk SD dan istri yang lembut, membuat rasa dingin mulai hilang perlahan-lahan, bersamaan dengan langkah-langkah kaki yang semakin cepat.
Sepulang dari pasar senyum tersungging, semua sayuran yang dijual laku terjual. Mungkin ini rezeki anak yang akan masuk sekolah. Dia semakin percaya bahwa anak tunggalnya itu, akan membawa keberuntungan dalam perdagangan. Kepercayaan bertambah besar manakala usaha yang ditekuni berkembang perlahan-lahan, sehingga seluruh keperluan bisa mencukupi.
Bahkan dia mampu menyimpan uang untuk keperluan pada masa mendatang. Ketika tepat sang anak menginjak bangku SMP, usaha perdagangan telah beranjak maju. Dia mampu membeli andong yang bisa digunakan untuk mengangkut barang dagangan ke pasar. Bahkan dia mempekerjakan keponakannya yang pengangguran untuk membantu berjualan di pasar.
Berkat ketekunan, kerja keras, kesabaran, dan keuletan, dia mampu menguliahkan anaknya di Kota Metropolitan Jakarta, yang gambarnya hanya bisa disaksikan di layar televisi. Dia telah menjadi saudagar sayuran yang tidak hanya menjual sayuran ke pasar, namun juga mengirimkan sayur-sayuran ke beberapa pasar tradisional di wilayah Karesidenan Besuki. Suatu hasil menggembirakan dari seseorang yang tidak pernah mengecap program wajib belajar sembilan tahun. Wajar dia kini menempati sebuah rumah bertingkat dua dengan semua fasilitas yang dianggap mewah di kampungnya, seperti mesin cuci dan kompor listrik, lemari es, pesawat televisi, mobil, dan telepon genggam.
Keperluan anak di Jakarta, sedikit demi sedikit mulai menggerogoti kekayaan. Permintaan uang dalam jumlah yang besar, membuat dirinya tak mampu menolak. Semua kerja keras yang selama ini dilakukan memang ditujukan demi kesuksesannya. Sehingga apa pun yang diminta pasti dituruti, tak peduli mesti mengurangi modal usaha, tak peduli menjual barang yang dimiliki, dan tak peduli mesti meminjam di sana-sini. Paling penting keperluan anak terpenuhi.
Kesibukan yang menyita waktu, sehingga berita-berita kriminal di televisi sudah terlewatkan beberapa waktu. Dalam layar televisi dia melihat dua orang pemuda digiring ke kantor polisi, dia seperti mengenali mereka. Tiada beberapa lama empat polisi menggotong sosok tubuh. Hati berdebar-debar, keringat dingin membasahi kening, dan jantung bergerak cepat. Begitu tutup sosok yang telah menjadi mayat itu dibuka, dia merasa dunia berputar cepat, dan kegelapan menyelimuti. Dia tak ingat apa-apa.
Dia mencoba membuka kedua kelopak mata, pandangan diarahkan pada wajah-wajah orang yang mengerumuninya. Perlahan-lahan seluruh kesadaran dipulihkan, tapi begitu kesadaran datang, dunia menjadi gelap gulita lagi. Kesadaran bahwa anak tunggal yang amat disayangi, tewas ditembus peluru aparat karena diduga terlibat jual beli narkoba, membuat dirinya tak sadar lagi.
Untuk kesekian kali dia berusaha menyadarkan diri.
“Minum air ini, Pak?” seorang pemuda menjulurkan segelas air. Dia menghabiskan air itu. Sudah lima hari antara sadar dan tidak, rasa haus dan lapar memberontak di tubuh.
“Apa ... mayat ... anakku,” suaranya terbata-bata, “sudah datang?”
“Sudah dikuburkan kemarin.”
“Kenapa aku tidak dibangunkan?”
“Bapak pingsan sudah lima hari, jadi kami kuburkan secepatnya.”
“Ohh ...!” Hanya ini yang bisa dikatakan, “Mana istriku?”
“Aku di sini,” istrinya mendekat dan memeluk erat tubuhnya. Tak ada kata-kata yang terucap, hanya butiran-butiran air mata. Mata lebih banyak makna kata-kata daripada kata-kata itu sendiri. Berpelukan lama sekali, seakan-akan mereka akan berpisah untuk selama-lamanya.
Sumirat kembali maju selangkah. Dia berdiri di atas meja. Tali yang menggantung di langit-langit kamar diraih, dan dikalungkan ke lehernya. Kematian kini benar-benar sudah dekat.
Mungkin dia kaya karena hasil dari makhluk halus,“ ungkapan-ungkapan menyakitkan dari masyarakat, tiada henti terngiangngiang di telinga.
“Pantas dari gembel langsung kaya.”
“Aku pernah melihatnya nyepi di pinggir sungai, sedang berdialog dengan makhluk halus.”
“Dia tak pantas hidup di dunia.”
“Sebentar lagi, mungkin istri yang akan dikorbankan.“Hujatan demi hujatan membuatnya semakin terpuruk.
Usaha yang dikelola berantakan, rumah beserta isinya telah dijual untuk melunasi utang-utang. Tepat pada hari rumah laku terjual, istrinya ditemukan di kamar mandi dengan mulut penuh busa. Dia meninggal bunuh diri karena tak kuat menahan musibah mahadahsyat yang menimpa mereka. Terdapat sebuah tulisan di dinding kamar mandi.
‘Untuk apa hidup kalau tujuan telah tiada.’ Untuk apa dia hidup, kalau anak yang menjadikan tujuan hidup telah tiada. Untuk apa hidup kalau istri yang berjuang selama 25 tahun telah tewas bunuh diri. Untuk apa hidup kalau usaha yang dirintis sejak muda berdagang sayuran, telah bangkrut. Untuk apa hidup kalau usaha yang memberikan alasan padanya untuk hidup, telah tiada. Untuk apa dia hidup?
Kematian akan mengakhiri semua penderitaan yang dialami. Kematian membuat bayang-bayang yang selama ini terus membayangi akan ikut mati. Kematian akan mengantarkan sampai tujuan hidup. Bukankah dengan kematian terputus semua hal yang berhubungan dengan manusia? Bukankah kematian akhir dari hidup yang menggetirkan, memilukan, menderitakan, dan memuakkan ini? Bukankah dengan kematian sandiwara kehidupan telah berakhir.
Sumirat mempererat tali yang melingkari leher, dia memajukan kaki selangkah. Pada saat kedua mata akan dipejamkan, dia melihat sayuran yang menghijau di belakang rumah. Aroma sayuran dihirup dalam-dalam sampai menembus pori-pori tubuh. Dia melihat sayuran tetap berdiri tegak, meski musim berganti musim, tahun berganti tahun.
Satu generasi sayuran tiada, tumbuh generasi lain. Dia melihat kehidupan sayuran bagai hidupnya selama ini. Sumirat menarik kakinya kembali. Dia memandang sayuran yang selama ini telah mampu membuat banyak orang sehat.
Bukankah sayuran banyak mengandung serat yang diperlukan untuk melawan lemak dan kolesterol? Belum lagi kandungan vitamin, mineral, dan zat lain yang tidak dimengerti istilahnya, sangat penting bagi manusia. Kalau dia mati saat ini, berarti banyak orang yang tidak dapat menikmati sayuran yang benar-benar segar. Banyak manusia yang rugi karena kematiannya. Kalau begitu kenapa dia tidak hidup?
Paling tidak kehidupan yang akan dia jalani akan bermanfaat bagi kemanusiaan. Orang hidup memang tidak mesti memiliki tujuan. Bukankah dengan tujuan hidup, anak tunggal dan istri tercinta telah mati dengan sia-sia. Berarti orang tetap bisa hidup walau tak memiliki tujuan. Paling penting hidup harus dijalani. Dia ingin hidup, karena ia berani menjalani. Biarlah bayang-bayang yang hadir akan jadi masa lalu. Dia tidak mesti hidup dengan masa lalu.
Bergegas tali di leher dicopot, dia melangkah menuju belakang rumah, mendekati sayuran yang telah memberi kehidupan. Meski hari beranjak gelap, dia berusaha mengambil sayuran untuk dijual keesokan hari. Tidak pedulikan lingkungan sekitar, tidak pedulikan kegelapan, dan tidak pedulikan apa pun, yang dia pedulikan hanya memetik sayuran. Saking bersemangat, tanpa terasa ada sesuatu yang mematuk kaki. Begitu menoleh, seekor ular daun yang cantik bergegas pergi. Dia merasa sesuatu mengalir cepat dalam sendi-sendi tubuh.
“Aku digigit ular,” pikirnya dalam hati.
Rasa sakit yang menyerang berusaha tidak dipedulikan, dia terus memetik sayuran, sampai dia merasa tidak kuat menahan tubuh dan ambruk ke tanah. Ketika kegelapan hampir menyelimuti, dia melihat hakikat diri terlepas dari tubuh, melayang di udara, disambut sepuluh bidadari cantik, yang membawanya ke taman yang luas, indah, memesona dan menggetarkan kalbu.
“Mungkin aku telah mati. Tapi aku mati bukan demi tujuan hidup, aku mati karena kemanusiaan. Maka kematianku adalah kematian menuju keabadian, keindahan, dan kebahagiaan.”
Perlu kalian ingat bahwa nilai kehidupan yang terdapat dalam cerpen selalu dalam pengertian yang baik. Kalian dapat mengambil sesuatu yang baik dalam cerpen tersebut. Dengan demikian, kalian telah menemukan nilai dalam cerpen.
Berikut nilai-nilai yang terdapat pada cerpen di atas.
1. Cerpen 1 “Alun-Alun Suryakencana”
a. Kekayaan dan kejayaan seseorang di dunia bukanlah segalanya.
b. Sifat mementingkan kepentingan pribadi daripada golongan adalah tidak baik.
c. Perbuatan tidak baik tidak akan menguntungkan siapa pun.
d. Mengganggu tempat umum sangat merugikan diri sendiri dan orang lain.
e. Sifat pemborosan merupakan sifat yang tidak baik.
2. Cerpen 2 “Sayuran”
a. Kebiasaan bekerja keras membawa seseorang pada kehidupan yang mapan.
b. Bersabar, ketekunan, dan keuletan menjadikan seseorang lebih tenang.
c. Perhatian dari orang tua sangatlah diperlukan bagi anggota keluarga.
d. Jangan pernah berputus asa dalam hidup.
e. Tujuan hidup bukanlah hanya keluarga sendiri, tapi diri sendiri dan orang lain.
Nilai-nilai kehidupan dalam cerpen di atas, tentu memiliki kesamaan dengan diri kalian. Berangkat dari nilai-nilai tersebut, kalian dapat mengambil segi positif dan negatifnya. Dengan demikian, kalian dapat menyimpulkan nilai yang dapat kalian teladani, sebagai contoh adalah berikut.
1. Cerpen 1 “Alun-Alun Suryakencana”
a. Tidak menomorsatukan kekayaan dan kejayaan dalam kehidupan.
b. Tidak mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan golongan.
c. Tidak menggunakan tempat umum yang tidak semestinya.
d. Tidak boros.
2. Cerpen 2 “Sayuran”
a. Rajin bekerja, sabar, tekun, dan ulet.
b. Tidak meminta lebih perhatian orang lain.
c. Tidak suka berputus asa.
d. Selalu berusaha.
Sekian materi tentang pemahaman Menganalisis Nilai-nilai Kehidupan pada Cerpen-cerpen dalam Satu Buku Kumpulan Cerpen, semoga bermanfaat.
Menganalisis Nilai-nilai Kehidupan pada Cerpen-cerpen dalam Satu Buku Kumpulan Cerpen
Tentu sobat telah mengetahui bahwa sebuah cerpen memiliki unsur amanat atau pesan-pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya. Apabila kalian cermati, kalian akan menemukan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam pesan moral. Pesan moral tersebut senantiasa berhubungan dengan sifat-sifat luhur manusia serta memperjuangkan hak dan martabat manusia.Menganalisis Nilai-nilai Kehidupan pada Cerpen-cerpen dalam Satu Buku Kumpulan Cerpen |
Cerpen 1
Alun-Alun Suryakencana
Karya: F. Rahardi
Seperti biasa, pagi itu Alun-Alun Suryakencana di Taman Nasional Gede Pangrango sangat cerah. Langit begitu biru dan bersih. Tak ada awan, tak ada kabut, dan tak ada angin. Matahari putih dan silau, tetapi udara masih juga dingin. Semula sepi. Hanya sekali-kali dipecah tawa, teriakan dan suara misting beradu dari arah tenda. Pagi itu, beberapa tenda pecinta alam tampak bertebaran di sekitar mata air, di tengah alunalun.
Selebihnya kosong sampai jauh. Alam yang senyap itu, tiba-tiba digusur bunyi yang gemuruh memekakkan telinga. Heli itu besar dan tahu-tahu menyembul begitu saja dari gerumbulan sentigi. Setelah berputar beberapa kali, ia mendarat di tempat yang lapang dan datar. Rumput, edelweis, dan rentetan rhododendron, semua meliukliuk mengikuti pusaran baling-baling heli. Semua seakan ingin roboh dan tiarap rata dengan tanah. Tetapi setelah baling-baling itu makin pelan dan berhenti, semua jadi biasa lagi.
“Ini sungguh hebat John! Luar biasa!
Mengapa baru sekarang saya diberitahu kalau ada alun-alun yang namanya apa ini tadi?” tanya si Bos itu kepada si John.
“Suryakencana, Pak! Inilah tempat yang paling eksotis untuk pesta pengantin. Bukan sekadar pesta kebun, tapi pesta alam. Tidak ada yang pernah punya gagasan seperti seorisinil Bapak. Orang mantu biasanya kan di Balai Kartini, Hilton, Manggala Warna Bhakti, paling banter Istana dan Kebun Raya Bogor. Atau Singapura, Hongkong, dan Mekah. Tapi Bapak lain, Bapak mendatangkan tamu-tamu pilihan itu ke Suryakencana!”
“Sudahlah John, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Inilah lokasi paling eksotis untuk resepsi pernikahan anakku. Ayo pulang dan segera membentuk panitia.”
***
Rapat panitia itu berlangsung di sebuah ruang perkantoran di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Beberapa mahasiswa pecinta alam diikutkan. Ada seksi perizinan, perlengkapan, dekorasi, transportasi, dokumentasi, protokuler, menu, dan seksi-seksi lainnya. Semua perlengkapan akan diangkut dengan belasan heli carteran. Belasan toilet mobil juga akan dipasang.Rapat panitia sore ini mendapat kehormatan dihadiri Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, dan beberapa dirjen. Semua manggut-manggut dan sepakat, bahwa perhelatan Bos Besar ini harus didukung secara politis dan ekonomis. Wartawan yang mengendus berita kontroversi ini segera memblow up-nya di media masing-masing. “Ini sudah sangat keterlaluan. Tidak bisa dibiarkan. Kita harus gerak!” teriak seorang aktivis lingkungan di depan para mahasiswa pecinta alam UI.
“Gila memang, beberapa teman kita, ternyata ada yang membelot ikut jadi panitia,” kata seorang seniman di warung Alex di TIM.
“Mereka harus kita sikat. Minggu depan kita harus menggelar demo. Menteri-menteri bego itu harus kita beri pelajaran.” Demo menentang resepsi pernikahan di Alun-Alun Suryakencana itu berlangsung seru. Koran dan televisi gencar mengekspos. Tokoh demonstran tampil dalam wawancara eksklusif. Pengantin laki-laki dan perempuan juga diuber infotainmen. Tetapi mereka berdua menghilang. Wartawan kecewa, tapi mereka tidak kehilangan akal. Menteri Kehutanan dicecar dengan pertanyaan gencar.
“Jadi Pak Menteri memang mengizinkan Taman Nasional kita diacak-acak untuk hurahura?” tanya wartawan. “Yang mau hura-hura siapa? Itu lokasi saya izinkan untuk resepsi pernikahan. Bukan untuk hura-hura seperti kalian kira,” jawab Menteri keras. “Saya dengar Pak Menteri telah terima amplop hingga izin keluar dengan lancar?”
“Ya memang saya sudah menerima amplop. Isinya permohonan izin dan proposal acara yang kalian ributkan ini.” “Berapa em Pak yang Bapak terima?” “Banyak sekali, namanya juga surat. Ada a, ada b, ada c, tentu juga ada emnya. Tapi saya ya hanya membaca. Tidak perlu menghitung huruf emnya.”
“Maksud saya, Bapak telah terima uang berapa em dari pengusaha yang akan mantu itu?”
“Lo, pasti beberapa em. Dia memang harus menyewa dan saya mematok harga tinggi. Kalian cek saja ke Sekjen.” “Untuk Bapak sendiri?” “Saya juga pernah mau dikasih tetapi saya tolak. Cukup begitu?”
“Anu Pak, katanya ...” “Sudahlah, nanti diselesaikan saja dengan Pak Dirjen!”
***
Pro dan kontra resepsi pernikahan di Alun-Alun Suryakencana, makin hari makin ramai. September seharusnya sudah mulai hujan. Tetapi langit masih tetap tidak berawan. Di mana-mana kering kerontang; kebakaran hutan terjadi di mana-mana dan asapnya terbang sampai ke negeri Jiran. Menteri Kehutanan diprotes, didemo, dan dikejar-kejar wartawan. Isu kebakaran hutan, juga digunakan untuk memojokkan Menteri ini. “Kalau nanti sampai terjadi kebakaran di Taman Nasional bagaimana, Pak?”“Kalau sampai terjadi kebakaran, ya dipadamkan. Kebakaran di lokasi sulit seperti di Sumatra dan Kalimantan saja saya urus. Apalagi kebakaran di situ. Apa kalian ingin kalau ada kebakaran, saya diem saja?” “Bukan begitu Pak. Ini kan musim kemarau. Kalau nanti ada yang membuang puntung, lalu hutannya terbakar, kita kan makin jadi sorotan internasional. Modal asing akan sulit masuk lo, Pak!”
“Semua sudah disiapkan. Semua sudah diurus sampai detilnya. Saya sudah konsultasi ke Bapak Presiden dan beliau mengatakan bahwa saya harus jalan terus!” “Beliau malah ingin hadir dalam resepsi ini. Beliau juga mengatakan bahwa gagasan memanfaatkan Taman Nasional untuk resepsi pernikahan merupakan terobosan yang brilian.
Diharapkan para wisatawan baik asing maupun lokal, akan makin mengenal Taman Nasional kita, lalu mengunjunginya. Itu berarti devisa akan masuk.” Seminggu sebelum hajatan besar berlangsung, kesibukan sudah mulai tampak. Heli besar kecil hilir mudik. Kepala Taman Nasional telah menutup Gunung Gede Pangrango bagi pendakian umum.
Paspampres mulai menyisiri tempat-tempat yang mencurigakan. Semua pintu masuk pendakian dijaga ketat. Jalur-jalur yang biasa digunakan pencari kayu bakar dan pencari paku-pakuan semua dijaga tentara, polisi, mahasiswa pecinta alam, dan warga setempat.
Hari H itu pun tiba. Cuaca sangat cerah. Tak ada secuil awan pun tampak di langit. Heli demi heli berdengung dari Jakarta menuju Suryakencana. Semua membawa tamu VVIP. Suasana alun-alun itu sendiri sudah berubah dari hari-hari biasa. Meskipun sentigi, rhododendron, edelweis, dan rumput liar, semua masih tegak menjadi hiasan alami di antara tenda-tenda. Dan nun di tengah tenda-tenda kecil warna-warni itu, berdirilah sebuah tenda raksasa yang megah. Di tenda besar itulah para tamu agung akan duduk menyaksikan hajatan.
Presiden dan Wapres, diharapkan hadir tepat pukul 11.00 WIB. Hanya akan datang memberikan selamat kepada mempelai, foto bersama lalu pulang. Sebab kesibukan beliau berdua hari ini, memang luar biasa. Pukul 09.00 pagi, tamu-tamu sudah mulai datang. Mereka tidak langsung masuk tenda, melainkan berkeliling menikmati pemandangan yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya. Pukul 09.30 tamu yang datang makin banyak. Sebab pukul 10.00 akad nikah akan dimulai.
Pukul 09.45, mendadak kabut datang. Cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah gelap. Angin juga bertiup sangat kencang. Kabut makin tebal. Angin makin menggila. Hujan turun dengan lebat. Para tamu berlarian. Tenda-tenda kecil roboh dan terbang dibawa angin. Cuaca makin tak karuan. Tenda besar terguncang-guncang keras. Tiba-tiba sebuah tenda kecil terbang menghantam tenda besar itu. Tenda besar itu pun roboh. Sebagian terpalnya melambai-lambai dimainkan angin. Kain tenda itu terus berkibaran, bagai layar kapal yang tiangnya patah diterjang badai.
(Sumber: Kumpulan Cerpen Kompas, 2006)
– blow up/blow ap/ = memunculkan ke permukaan.
– rhododendron/’rowd ’dendr n/ = sejenis tumbuh-tumbuhan.
– VVIP(Very Very Important Person) = orang-orang yang sangat penting.
Cerpen 2
Sayuran
Karya: Zamhari Hasan
Sumirat maju selangkah. Kematian terasa dekat. Bayang-bayang kehidupan tergambar jelas di pelupuk mata. Peristiwaperistiwa berlalu-lalang sepadat kendaraan di jalan raya, berkelebat cepat dan tak dapat dihentikan. Dia telah berusaha lari dari bayang-bayang, tapi bayang-bayang tidak mau berlari. Ke mana dia berlari, di situlah bayang-bayang membayangi sepanjang waktu, membuat diri tak berkutik. Dia telah mengacuhkan, tapi bayang-bayang tetap hadir membayangi. Kini dia benar-benar tak berdaya.
Pagi yang cerah, embusan angin menyapu kulit wajah, menembus pori-pori tubuh, menusuk tulang, membuat tubuh menggigil. Pakaian yang digunakan tak mampu melawan angin pagi yang menusuk. Dia berusaha melawan rasa dingin, dengan semangat membara di hati, guna mengangkut sayuran di atas punggung, yang akan dijual di pasar. Gambar anak satu-satunya yang baru masuk SD dan istri yang lembut, membuat rasa dingin mulai hilang perlahan-lahan, bersamaan dengan langkah-langkah kaki yang semakin cepat.
Sepulang dari pasar senyum tersungging, semua sayuran yang dijual laku terjual. Mungkin ini rezeki anak yang akan masuk sekolah. Dia semakin percaya bahwa anak tunggalnya itu, akan membawa keberuntungan dalam perdagangan. Kepercayaan bertambah besar manakala usaha yang ditekuni berkembang perlahan-lahan, sehingga seluruh keperluan bisa mencukupi.
Bahkan dia mampu menyimpan uang untuk keperluan pada masa mendatang. Ketika tepat sang anak menginjak bangku SMP, usaha perdagangan telah beranjak maju. Dia mampu membeli andong yang bisa digunakan untuk mengangkut barang dagangan ke pasar. Bahkan dia mempekerjakan keponakannya yang pengangguran untuk membantu berjualan di pasar.
Berkat ketekunan, kerja keras, kesabaran, dan keuletan, dia mampu menguliahkan anaknya di Kota Metropolitan Jakarta, yang gambarnya hanya bisa disaksikan di layar televisi. Dia telah menjadi saudagar sayuran yang tidak hanya menjual sayuran ke pasar, namun juga mengirimkan sayur-sayuran ke beberapa pasar tradisional di wilayah Karesidenan Besuki. Suatu hasil menggembirakan dari seseorang yang tidak pernah mengecap program wajib belajar sembilan tahun. Wajar dia kini menempati sebuah rumah bertingkat dua dengan semua fasilitas yang dianggap mewah di kampungnya, seperti mesin cuci dan kompor listrik, lemari es, pesawat televisi, mobil, dan telepon genggam.
Keperluan anak di Jakarta, sedikit demi sedikit mulai menggerogoti kekayaan. Permintaan uang dalam jumlah yang besar, membuat dirinya tak mampu menolak. Semua kerja keras yang selama ini dilakukan memang ditujukan demi kesuksesannya. Sehingga apa pun yang diminta pasti dituruti, tak peduli mesti mengurangi modal usaha, tak peduli menjual barang yang dimiliki, dan tak peduli mesti meminjam di sana-sini. Paling penting keperluan anak terpenuhi.
Kesibukan yang menyita waktu, sehingga berita-berita kriminal di televisi sudah terlewatkan beberapa waktu. Dalam layar televisi dia melihat dua orang pemuda digiring ke kantor polisi, dia seperti mengenali mereka. Tiada beberapa lama empat polisi menggotong sosok tubuh. Hati berdebar-debar, keringat dingin membasahi kening, dan jantung bergerak cepat. Begitu tutup sosok yang telah menjadi mayat itu dibuka, dia merasa dunia berputar cepat, dan kegelapan menyelimuti. Dia tak ingat apa-apa.
Dia mencoba membuka kedua kelopak mata, pandangan diarahkan pada wajah-wajah orang yang mengerumuninya. Perlahan-lahan seluruh kesadaran dipulihkan, tapi begitu kesadaran datang, dunia menjadi gelap gulita lagi. Kesadaran bahwa anak tunggal yang amat disayangi, tewas ditembus peluru aparat karena diduga terlibat jual beli narkoba, membuat dirinya tak sadar lagi.
Untuk kesekian kali dia berusaha menyadarkan diri.
“Minum air ini, Pak?” seorang pemuda menjulurkan segelas air. Dia menghabiskan air itu. Sudah lima hari antara sadar dan tidak, rasa haus dan lapar memberontak di tubuh.
“Apa ... mayat ... anakku,” suaranya terbata-bata, “sudah datang?”
“Sudah dikuburkan kemarin.”
“Kenapa aku tidak dibangunkan?”
“Bapak pingsan sudah lima hari, jadi kami kuburkan secepatnya.”
“Ohh ...!” Hanya ini yang bisa dikatakan, “Mana istriku?”
“Aku di sini,” istrinya mendekat dan memeluk erat tubuhnya. Tak ada kata-kata yang terucap, hanya butiran-butiran air mata. Mata lebih banyak makna kata-kata daripada kata-kata itu sendiri. Berpelukan lama sekali, seakan-akan mereka akan berpisah untuk selama-lamanya.
Sumirat kembali maju selangkah. Dia berdiri di atas meja. Tali yang menggantung di langit-langit kamar diraih, dan dikalungkan ke lehernya. Kematian kini benar-benar sudah dekat.
Mungkin dia kaya karena hasil dari makhluk halus,“ ungkapan-ungkapan menyakitkan dari masyarakat, tiada henti terngiangngiang di telinga.
“Pantas dari gembel langsung kaya.”
“Aku pernah melihatnya nyepi di pinggir sungai, sedang berdialog dengan makhluk halus.”
“Dia tak pantas hidup di dunia.”
“Sebentar lagi, mungkin istri yang akan dikorbankan.“Hujatan demi hujatan membuatnya semakin terpuruk.
Usaha yang dikelola berantakan, rumah beserta isinya telah dijual untuk melunasi utang-utang. Tepat pada hari rumah laku terjual, istrinya ditemukan di kamar mandi dengan mulut penuh busa. Dia meninggal bunuh diri karena tak kuat menahan musibah mahadahsyat yang menimpa mereka. Terdapat sebuah tulisan di dinding kamar mandi.
‘Untuk apa hidup kalau tujuan telah tiada.’ Untuk apa dia hidup, kalau anak yang menjadikan tujuan hidup telah tiada. Untuk apa hidup kalau istri yang berjuang selama 25 tahun telah tewas bunuh diri. Untuk apa hidup kalau usaha yang dirintis sejak muda berdagang sayuran, telah bangkrut. Untuk apa hidup kalau usaha yang memberikan alasan padanya untuk hidup, telah tiada. Untuk apa dia hidup?
Kematian akan mengakhiri semua penderitaan yang dialami. Kematian membuat bayang-bayang yang selama ini terus membayangi akan ikut mati. Kematian akan mengantarkan sampai tujuan hidup. Bukankah dengan kematian terputus semua hal yang berhubungan dengan manusia? Bukankah kematian akhir dari hidup yang menggetirkan, memilukan, menderitakan, dan memuakkan ini? Bukankah dengan kematian sandiwara kehidupan telah berakhir.
Sumirat mempererat tali yang melingkari leher, dia memajukan kaki selangkah. Pada saat kedua mata akan dipejamkan, dia melihat sayuran yang menghijau di belakang rumah. Aroma sayuran dihirup dalam-dalam sampai menembus pori-pori tubuh. Dia melihat sayuran tetap berdiri tegak, meski musim berganti musim, tahun berganti tahun.
Satu generasi sayuran tiada, tumbuh generasi lain. Dia melihat kehidupan sayuran bagai hidupnya selama ini. Sumirat menarik kakinya kembali. Dia memandang sayuran yang selama ini telah mampu membuat banyak orang sehat.
Bukankah sayuran banyak mengandung serat yang diperlukan untuk melawan lemak dan kolesterol? Belum lagi kandungan vitamin, mineral, dan zat lain yang tidak dimengerti istilahnya, sangat penting bagi manusia. Kalau dia mati saat ini, berarti banyak orang yang tidak dapat menikmati sayuran yang benar-benar segar. Banyak manusia yang rugi karena kematiannya. Kalau begitu kenapa dia tidak hidup?
Paling tidak kehidupan yang akan dia jalani akan bermanfaat bagi kemanusiaan. Orang hidup memang tidak mesti memiliki tujuan. Bukankah dengan tujuan hidup, anak tunggal dan istri tercinta telah mati dengan sia-sia. Berarti orang tetap bisa hidup walau tak memiliki tujuan. Paling penting hidup harus dijalani. Dia ingin hidup, karena ia berani menjalani. Biarlah bayang-bayang yang hadir akan jadi masa lalu. Dia tidak mesti hidup dengan masa lalu.
Bergegas tali di leher dicopot, dia melangkah menuju belakang rumah, mendekati sayuran yang telah memberi kehidupan. Meski hari beranjak gelap, dia berusaha mengambil sayuran untuk dijual keesokan hari. Tidak pedulikan lingkungan sekitar, tidak pedulikan kegelapan, dan tidak pedulikan apa pun, yang dia pedulikan hanya memetik sayuran. Saking bersemangat, tanpa terasa ada sesuatu yang mematuk kaki. Begitu menoleh, seekor ular daun yang cantik bergegas pergi. Dia merasa sesuatu mengalir cepat dalam sendi-sendi tubuh.
“Aku digigit ular,” pikirnya dalam hati.
Rasa sakit yang menyerang berusaha tidak dipedulikan, dia terus memetik sayuran, sampai dia merasa tidak kuat menahan tubuh dan ambruk ke tanah. Ketika kegelapan hampir menyelimuti, dia melihat hakikat diri terlepas dari tubuh, melayang di udara, disambut sepuluh bidadari cantik, yang membawanya ke taman yang luas, indah, memesona dan menggetarkan kalbu.
“Mungkin aku telah mati. Tapi aku mati bukan demi tujuan hidup, aku mati karena kemanusiaan. Maka kematianku adalah kematian menuju keabadian, keindahan, dan kebahagiaan.”
***
(Sumber: Kumpulan Cerpen Kompas, 2006)Perlu kalian ingat bahwa nilai kehidupan yang terdapat dalam cerpen selalu dalam pengertian yang baik. Kalian dapat mengambil sesuatu yang baik dalam cerpen tersebut. Dengan demikian, kalian telah menemukan nilai dalam cerpen.
Berikut nilai-nilai yang terdapat pada cerpen di atas.
1. Cerpen 1 “Alun-Alun Suryakencana”
a. Kekayaan dan kejayaan seseorang di dunia bukanlah segalanya.
b. Sifat mementingkan kepentingan pribadi daripada golongan adalah tidak baik.
c. Perbuatan tidak baik tidak akan menguntungkan siapa pun.
d. Mengganggu tempat umum sangat merugikan diri sendiri dan orang lain.
e. Sifat pemborosan merupakan sifat yang tidak baik.
2. Cerpen 2 “Sayuran”
a. Kebiasaan bekerja keras membawa seseorang pada kehidupan yang mapan.
b. Bersabar, ketekunan, dan keuletan menjadikan seseorang lebih tenang.
c. Perhatian dari orang tua sangatlah diperlukan bagi anggota keluarga.
d. Jangan pernah berputus asa dalam hidup.
e. Tujuan hidup bukanlah hanya keluarga sendiri, tapi diri sendiri dan orang lain.
Nilai-nilai kehidupan dalam cerpen di atas, tentu memiliki kesamaan dengan diri kalian. Berangkat dari nilai-nilai tersebut, kalian dapat mengambil segi positif dan negatifnya. Dengan demikian, kalian dapat menyimpulkan nilai yang dapat kalian teladani, sebagai contoh adalah berikut.
1. Cerpen 1 “Alun-Alun Suryakencana”
a. Tidak menomorsatukan kekayaan dan kejayaan dalam kehidupan.
b. Tidak mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan golongan.
c. Tidak menggunakan tempat umum yang tidak semestinya.
d. Tidak boros.
2. Cerpen 2 “Sayuran”
a. Rajin bekerja, sabar, tekun, dan ulet.
b. Tidak meminta lebih perhatian orang lain.
c. Tidak suka berputus asa.
d. Selalu berusaha.
Sekian materi tentang pemahaman Menganalisis Nilai-nilai Kehidupan pada Cerpen-cerpen dalam Satu Buku Kumpulan Cerpen, semoga bermanfaat.