Mengidentifikasi Karakteristik Novel Periode 20–30-an - Pada pembahasan materi bahasa Indonesia kali ini mengenai cara mengidentifikasi ciri-ciri sastra lama novel periode 1920–1930-an berdasarkan bahasa yang digunakan, menentukan sifat-sifat tokoh, serta menyimpulkan isi novel, untuk lebih jelasnya dapat kalian simak dalam penjelasan singkat berikut ini!
Salah satu novel yang menjadi catatan sejarah novel Indonesia periode 1920-an adalah Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar. Novel ini mengawali perjalanan novel Indonesia modern, sungguhpun novel-novel terbitan di luar Balai Pustaka yang oleh Belanda dicap sebagai “bacaan liar” sudah terbit sebelum itu.
Menempatkan Azab dan Sengsara sebagai titik awalnya, semata-mata karena novel itu sudah menggunakan bahasa Melayu tinggi. Walaupun demikian, tentu saja karya-karya Kartawinata yang terbit tahun 1897, Pangemanan, Tirto Adhi Soerjo, Boeng Djan, dan Mas Marco Kartodikromo, langsung ataupun tidak langsung telah ikut memengaruhi para pengarang Balai Pustaka. Belum termasuk para pengarang Peranakan-Eropa dan Peranakan-Cina yang karya-karyanya pernah populer, justru sebelum Balai Pustaka lahir (Mahayana, 1992:284).
Kembali pada tujuan proses pembelajaran ini, untuk lebih mengetahui tentang penggunaan bahasa serta pokok permasalahan yang menjadi tema sentral pada masa-masa Balai Pustaka, silakan kalian simak kutipan novel berikut ini.
Layar Terkembang
Oleh St. Takdir Alisjahbana
Maria terbaring di tempat tidur dalam kamarnya, letih hampir tiada bergerak-gerak. Demam malaria sepuluh hari amat menguruskan dan memucat mukanya. Sekarang pun ia masih sembuh, tetapi oleh karena panasnya sedang turun dapatlah ia terlelap sebentar.
Di hadapan tempat tidur itu bersandar Tuti di atas kursi panjang. Sejak ia pulang dari sekolah tengah hari tadi, ia duduk di sana menjaga adiknya yang sakit itu. Ketika dilihatnya Maria tertidur, diambilnya buku dan dicobanya hendak membacanya. Tetapi usahanya itu sia-sia belaka. Pikirannya tiada hendak terikat pada buku, tetapi selalu berbalik-balik saja kepada Supomo. Pukul satu tadi ia diantarkannya pulang ke rumah dari sekolah dan di jalan dikeluarkannya menurut katanya lama terkandung dalam hatinya.
Tuti sudah lama menyangka bahwa lekas atau lambat hal itu akan tiba. Terutama dalam waktu yang kemudian ini ia tiada sangsi sedikit jua pun lagi; menilik kepada sikap, gerak-gerak dan kata-kata Supomo terhadap kepadanya pasti ia akan memintanya, menjadi istrinya.
Dan ia sendiri pun, selalu jika Supomo datang bercakap-cakap dengan dia dengan sendirinya terasa kepadanya hatinya girang.
Oleh kelemahan dirinya berhubung dengan perjuangan hatinya tiada insaf hanyutlah ia menurutkan himbauan suara kalbunya; suatu tenaga gaib yang nikmat menunda melandanya menyambut bahagia yang membayang di hadapannya.
Tetapi meskipun demikian, ketika perkataan yang penting itu keluar dari mulut Supomo tadi, ia terkejut tiada dapat berkatakata. Perkataan itu tiada dijawabnya, tiada terjawab olehnya, meskipun berulang-ulang Supomo menyatakannya dan meminta jawaban daripadanya.
Sejak dari ditinggalkan Supomo tiada lainlah yang dipikirkannya. Nasi tiada hendak lulus di kerongkongannya, malahan pakaiannya sampai lupa ia menukarnya. Dan dalam ia melayani adiknya itu, tiada berhenti-henti terkilat-kilat kepadanya perkataan Supomo menyatakan cintanya kepadanya.
Waktu adiknya tertidur itu agak tenanglah hatinya berpikir, “Bagaimana, akan diterimanyakah atau tiada permintaan Supomo itu …? Kalau Supomo tiada diterimanya, apabila lagikah ia akan bersuami? Usianya sekarang sudah dua puluh tujuh tahun. Siapa tahu, kesempatan ini ialah kesempatan yang terakhir baginya. Kalau dilepaskan pula, akan terlepaslah untuk selama-lamanya.”
Kalau pikirannya sedang demikian maka lemahlah seluruh sendi badannya. Perasaan kehampaan yang telah berbulan-bulan memberatkan hatinya datanglah mengepul dan memaksanya mengatakan, “Ya” kepada Supomo. Sebab Supomo seorang yang baik hati, penuh kasih sayang. Cintanya yang dikatakannya itu tiada boleh tidak lahir dari kalbunya benar. Sudah lebih enam bulan ia berkenalan dengan dia.
Tetapi apabila seolah-olah telah putuslah maksudnya demikian oleh kemenangan perasaan hatinya, maka timbullah timbangan yang menyelidiki dan menyiasati keputusan yang diambilnya itu.
“Baik ia kawin dengan Supomo? Dapatkah ia mencintai dan menghormatinya? Dapatkah ia memberi bahagia kepadanya sebagai suaminya? Dapatkah ia sendiri merasa memberi bahagia kepadanya sebagai suaminya? Dapatkah ia sendiri merasa berbahagia dengan Supomo, laki-laki yang lemah lembut, baik hati, tetapi biasa dalam segala-galanya dan tiada sedikit turut hidup dengan pergerakkan kebangunan bangsanya?”
Bertalu-talu datang pertanyaan membanjiri pikirannya: sekejap terkilat kepadanya, bahwa kenikmatan pergaulannya dengan Supomo waktu yang akhir ini ialah usaha jiwanya melarikan dirinya dari perasaan kengerian akan usianya yang sudah dua puluh tujuh tahun.
Bengis dan kejam dikoyakkan tenda kekaburan tempat bersembunyi, dan bengis dan kejam dihadapinya soalnya yang sebenarbenarnya: Kawin untuk melepaskan perasaan kecemasan! Sebabnya cinta sebenar-benarnya tiada akan dapat ia terhadap kepada Supomo yang dalam segala hal menurut pandangan matanya tiada lebih daripadanya, meskipun ia mendapat ijazah di negeri Belanda ....
Dalam ia dengan kejam dan bengis membelah isi kalbunya sendiri itu, kedengaran kepadanya bunyi orang mengetuk pintu. Dipasangnya telinganya terang-terang dan terdengar kepadanya bunyi ketuk itu berulang-ulang. Berlahan-lahan berdirilah ia dari tempat duduknya dan berjingkat-jingkat, supaya jangan mengusik adiknya yang lagi tidur, berjalanlah ia keluar.
Kelihatan kepadanya seorang anak kirakira umur empat belas tahun. Melihat rupanya tahu sekali ia bahwa itu adik Supomo, sebab pada mukanya ada cahaya kelembutan yang terbayang pada air muka kakaknya. Berdebar-debar hatinya menerima surat yang bersampul dari anak itu. Ketika ia bergesa-gesa hendak masuk, sebab ingin hendak mengetahui isinya, dari jalan kedengaran kepadanya bel bunyi sepeda dan nampak kepadanya Yusuf.
Belum lagi ia turun dari sepedanya, sudah kedengaran ia bertanya; betapa keadaan Maria. “Masih seperti biasa saja, tetapi sekarang ia tertidur … marilah engkau naik!” jawab Tuti.
Yusuf menyandarkan sepedanya dan naiklah ia ke rumah, mengikuti Tuti masuk ke kamar Maria. Meskipun hati-hati benar orang berdua itu masuk, tetapi Maria terbangun juga. Mukanya yang pucat itu tersenyum antara kelihatan dengan tiada memandang kekasihnya yang datang melihatnya itu.
Sebentar Tuti menemani Yusuf bercakap-cakap dengan Maria, tetapi sebab tiada dapat ia menahan hatinya hendak membaca surat yang baru diterimanya itu, berkatalah ia. “Yusuf, duduklah engkau sebentar. Saya dari pulang sekolah tadi belum bertukar pakaian lagi. Sekarang hari sudah setengah lima. Biarlah saya membersihkan badan sebentar.”
Lalu keluarlah ia dari kamar Maria masuk ke kamarnya. Pekerjaannya yang pertama sekali ialah membuka sampul surat dari Supomo. Bersinar-sinar matanya menelan segala yang ditulis di dalamnya.
Supomo menceritakan bahwa telah lama ia mencintanya, tetapi selama itu cintanya disimpannya saja di dalam hatinya, hingga akhirnya ia tiada dapat menyimpannya lagi. Dilukiskannya betapa ia berharap Tuti membalas cintanya itu.
Minta maaf ia mendesak Tuti tadi selekas-lekasnya memberi jawab. Pikirkanlah segala masak-masak, supaya jangan ia menyesal di kemudian hari. Tetapi sementara itu dimintanya juga supaya besok pagi ia mendapat jawab yang baik dari Tuti. Sebab terlampau berat terasa kepadanya menanti seperti sekarang terombang-ambing di laut tidak di darat tidak.
Sangat bersahaja bunyi surat itu dan di sana-sini terasa kepada Tuti pujaan yang tulus terhadap kepada dirinya. Dan dalam hatinya yakin ia seyakin-yakinnya lemahlah rasa hatinya sesudah membaca surat itu: Cinta yang semesra itu tidak akan mungkin tersua lagi rasanya seumur hidup.
(Sumber: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana)
Kalian telah menyimak sepenggal kutipan novel di atas. Untuk menjelaskan karakteristik novel tahun 1920-an, kalian perlu membaca novel Layar Terkembang secara keseluruhan. Selain membaca novel Layar Terkembang, kalian juga perlu untuk membaca karya sastra novel 20-an yang lain.
Setelah menyimak pembacaan kutipan novel di atas, kalian dapat mengidentifikasi ciri-ciri sastra periode tahun 1920-an berdasarkan bahasa yang digunakan, sifat-sifat tokoh yang terdapat pada kutipan, serta kesimpulan isi kutipan novel tersebut sebagai berikut.
1. Ciri-ciri sastra periode tahun 1920-an (novel zaman Balai Pustaka-Pujangga Baru) sebagai berikut.
a. Sudah mulai tampak cita-cita organisasi yang mengarah pada semangat membentuk persatuan Indonesia.
b. Tema cerita sudah tidak lagi bergulat pada hal-hal yang sifatnya pertentangan adat, tetapi sudah mulai memunculkan masalah emansipasi wanita dan kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan wanita dalam membangun bangsa. Bahkan oleh Amal Hamzah disebutkan bahwa isi Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana adalah Perempuan Indonesia Modern.
c. Terlihat semangat mendidik dan mengajar di samping menghibur.
2. Dari pembacaan kutipan novel tersebut, sifat tokoh yang paling terlihat menonjol adalah Tuti, yang diceritakan sebagai sosok wanita yang sedang dilanda kebingungan, karena harus memilih antara cinta (sesuai dengan kodratnya sebagai seorang wanita) atau memilih meneruskan perjuangan organisasi pergerakannya dalam upaya membangun bangsa. Selain itu, diceritakan juga sifat Supomo yang dengan tulus ikhlas mencintai Tuti dan menunggu jawaban atas pernyataan cinta yang telah diungkapkannya.
3. Isi novel ini adalah mengenai perjuangan yang dilakukan oleh seorang perempuan yang tengah merasa bimbang terhadap pikiran dan hatinya. Tokoh Tuti dikisahkan tengah mengalami kegelisahan perihal perasaan cintanya kepada Supomo. Secara tidak langsung, isi kutipan novel tersebut juga mengungkapkan adanya kehidupan wanita modern.
Apabila dibandingkan dengan novel seangkatan lainnya, misalnya novel Azab dan Sengsara, karya Merari Siregar, maka terdapat perbedaan dan persamaannya.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tema. Tema dalam novel Azab dan Sengsara masih menampilkan pertentangan adat, belum menampakkan masalah emansipasi. Perjodohan orang tua diangkat dalam novel ini. Ini berbeda sekali dengan novel Layar Terkembang.
Adapun persamaan kedua novel tersebut adalah penggunaan bahasanya yang khas dan tidak padat, bersifat kedaerahan, dan mengangkat tema masalah percintaan.
Sekian pembahasan mengenai Mengidentifikasi Karakteristik Novel Periode 20–30-an dan juga tentang cara mengidentifikasi ciri-ciri sastra lama novel periode 1920–1930-an berdasarkan bahasa yang digunakan, menentukan sifat-sifat tokoh, serta menyimpulkan isi novel, semoga dapa membantusobat dalam proses belajar.
Mengidentifikasi Karakteristik Novel Periode 20–30-an
Sebelum mulai mengolah kemampuan mendengar kalian berkaitan dengan pembacaan kutipan novel tahun 1920-an, ada baiknya kalian ingat kembali sejarah perkembangan sastra di Indonesia.Salah satu novel yang menjadi catatan sejarah novel Indonesia periode 1920-an adalah Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar. Novel ini mengawali perjalanan novel Indonesia modern, sungguhpun novel-novel terbitan di luar Balai Pustaka yang oleh Belanda dicap sebagai “bacaan liar” sudah terbit sebelum itu.
Menempatkan Azab dan Sengsara sebagai titik awalnya, semata-mata karena novel itu sudah menggunakan bahasa Melayu tinggi. Walaupun demikian, tentu saja karya-karya Kartawinata yang terbit tahun 1897, Pangemanan, Tirto Adhi Soerjo, Boeng Djan, dan Mas Marco Kartodikromo, langsung ataupun tidak langsung telah ikut memengaruhi para pengarang Balai Pustaka. Belum termasuk para pengarang Peranakan-Eropa dan Peranakan-Cina yang karya-karyanya pernah populer, justru sebelum Balai Pustaka lahir (Mahayana, 1992:284).
Mengidentifikasi Karakteristik Novel Periode 20–30-an |
Kembali pada tujuan proses pembelajaran ini, untuk lebih mengetahui tentang penggunaan bahasa serta pokok permasalahan yang menjadi tema sentral pada masa-masa Balai Pustaka, silakan kalian simak kutipan novel berikut ini.
Layar Terkembang
Oleh St. Takdir Alisjahbana
Maria terbaring di tempat tidur dalam kamarnya, letih hampir tiada bergerak-gerak. Demam malaria sepuluh hari amat menguruskan dan memucat mukanya. Sekarang pun ia masih sembuh, tetapi oleh karena panasnya sedang turun dapatlah ia terlelap sebentar.
Di hadapan tempat tidur itu bersandar Tuti di atas kursi panjang. Sejak ia pulang dari sekolah tengah hari tadi, ia duduk di sana menjaga adiknya yang sakit itu. Ketika dilihatnya Maria tertidur, diambilnya buku dan dicobanya hendak membacanya. Tetapi usahanya itu sia-sia belaka. Pikirannya tiada hendak terikat pada buku, tetapi selalu berbalik-balik saja kepada Supomo. Pukul satu tadi ia diantarkannya pulang ke rumah dari sekolah dan di jalan dikeluarkannya menurut katanya lama terkandung dalam hatinya.
Tuti sudah lama menyangka bahwa lekas atau lambat hal itu akan tiba. Terutama dalam waktu yang kemudian ini ia tiada sangsi sedikit jua pun lagi; menilik kepada sikap, gerak-gerak dan kata-kata Supomo terhadap kepadanya pasti ia akan memintanya, menjadi istrinya.
Dan ia sendiri pun, selalu jika Supomo datang bercakap-cakap dengan dia dengan sendirinya terasa kepadanya hatinya girang.
Oleh kelemahan dirinya berhubung dengan perjuangan hatinya tiada insaf hanyutlah ia menurutkan himbauan suara kalbunya; suatu tenaga gaib yang nikmat menunda melandanya menyambut bahagia yang membayang di hadapannya.
Tetapi meskipun demikian, ketika perkataan yang penting itu keluar dari mulut Supomo tadi, ia terkejut tiada dapat berkatakata. Perkataan itu tiada dijawabnya, tiada terjawab olehnya, meskipun berulang-ulang Supomo menyatakannya dan meminta jawaban daripadanya.
Sejak dari ditinggalkan Supomo tiada lainlah yang dipikirkannya. Nasi tiada hendak lulus di kerongkongannya, malahan pakaiannya sampai lupa ia menukarnya. Dan dalam ia melayani adiknya itu, tiada berhenti-henti terkilat-kilat kepadanya perkataan Supomo menyatakan cintanya kepadanya.
Waktu adiknya tertidur itu agak tenanglah hatinya berpikir, “Bagaimana, akan diterimanyakah atau tiada permintaan Supomo itu …? Kalau Supomo tiada diterimanya, apabila lagikah ia akan bersuami? Usianya sekarang sudah dua puluh tujuh tahun. Siapa tahu, kesempatan ini ialah kesempatan yang terakhir baginya. Kalau dilepaskan pula, akan terlepaslah untuk selama-lamanya.”
Kalau pikirannya sedang demikian maka lemahlah seluruh sendi badannya. Perasaan kehampaan yang telah berbulan-bulan memberatkan hatinya datanglah mengepul dan memaksanya mengatakan, “Ya” kepada Supomo. Sebab Supomo seorang yang baik hati, penuh kasih sayang. Cintanya yang dikatakannya itu tiada boleh tidak lahir dari kalbunya benar. Sudah lebih enam bulan ia berkenalan dengan dia.
Tetapi apabila seolah-olah telah putuslah maksudnya demikian oleh kemenangan perasaan hatinya, maka timbullah timbangan yang menyelidiki dan menyiasati keputusan yang diambilnya itu.
“Baik ia kawin dengan Supomo? Dapatkah ia mencintai dan menghormatinya? Dapatkah ia memberi bahagia kepadanya sebagai suaminya? Dapatkah ia sendiri merasa memberi bahagia kepadanya sebagai suaminya? Dapatkah ia sendiri merasa berbahagia dengan Supomo, laki-laki yang lemah lembut, baik hati, tetapi biasa dalam segala-galanya dan tiada sedikit turut hidup dengan pergerakkan kebangunan bangsanya?”
Bertalu-talu datang pertanyaan membanjiri pikirannya: sekejap terkilat kepadanya, bahwa kenikmatan pergaulannya dengan Supomo waktu yang akhir ini ialah usaha jiwanya melarikan dirinya dari perasaan kengerian akan usianya yang sudah dua puluh tujuh tahun.
Bengis dan kejam dikoyakkan tenda kekaburan tempat bersembunyi, dan bengis dan kejam dihadapinya soalnya yang sebenarbenarnya: Kawin untuk melepaskan perasaan kecemasan! Sebabnya cinta sebenar-benarnya tiada akan dapat ia terhadap kepada Supomo yang dalam segala hal menurut pandangan matanya tiada lebih daripadanya, meskipun ia mendapat ijazah di negeri Belanda ....
Dalam ia dengan kejam dan bengis membelah isi kalbunya sendiri itu, kedengaran kepadanya bunyi orang mengetuk pintu. Dipasangnya telinganya terang-terang dan terdengar kepadanya bunyi ketuk itu berulang-ulang. Berlahan-lahan berdirilah ia dari tempat duduknya dan berjingkat-jingkat, supaya jangan mengusik adiknya yang lagi tidur, berjalanlah ia keluar.
Kelihatan kepadanya seorang anak kirakira umur empat belas tahun. Melihat rupanya tahu sekali ia bahwa itu adik Supomo, sebab pada mukanya ada cahaya kelembutan yang terbayang pada air muka kakaknya. Berdebar-debar hatinya menerima surat yang bersampul dari anak itu. Ketika ia bergesa-gesa hendak masuk, sebab ingin hendak mengetahui isinya, dari jalan kedengaran kepadanya bel bunyi sepeda dan nampak kepadanya Yusuf.
Belum lagi ia turun dari sepedanya, sudah kedengaran ia bertanya; betapa keadaan Maria. “Masih seperti biasa saja, tetapi sekarang ia tertidur … marilah engkau naik!” jawab Tuti.
Yusuf menyandarkan sepedanya dan naiklah ia ke rumah, mengikuti Tuti masuk ke kamar Maria. Meskipun hati-hati benar orang berdua itu masuk, tetapi Maria terbangun juga. Mukanya yang pucat itu tersenyum antara kelihatan dengan tiada memandang kekasihnya yang datang melihatnya itu.
Sebentar Tuti menemani Yusuf bercakap-cakap dengan Maria, tetapi sebab tiada dapat ia menahan hatinya hendak membaca surat yang baru diterimanya itu, berkatalah ia. “Yusuf, duduklah engkau sebentar. Saya dari pulang sekolah tadi belum bertukar pakaian lagi. Sekarang hari sudah setengah lima. Biarlah saya membersihkan badan sebentar.”
Lalu keluarlah ia dari kamar Maria masuk ke kamarnya. Pekerjaannya yang pertama sekali ialah membuka sampul surat dari Supomo. Bersinar-sinar matanya menelan segala yang ditulis di dalamnya.
Supomo menceritakan bahwa telah lama ia mencintanya, tetapi selama itu cintanya disimpannya saja di dalam hatinya, hingga akhirnya ia tiada dapat menyimpannya lagi. Dilukiskannya betapa ia berharap Tuti membalas cintanya itu.
Minta maaf ia mendesak Tuti tadi selekas-lekasnya memberi jawab. Pikirkanlah segala masak-masak, supaya jangan ia menyesal di kemudian hari. Tetapi sementara itu dimintanya juga supaya besok pagi ia mendapat jawab yang baik dari Tuti. Sebab terlampau berat terasa kepadanya menanti seperti sekarang terombang-ambing di laut tidak di darat tidak.
Sangat bersahaja bunyi surat itu dan di sana-sini terasa kepada Tuti pujaan yang tulus terhadap kepada dirinya. Dan dalam hatinya yakin ia seyakin-yakinnya lemahlah rasa hatinya sesudah membaca surat itu: Cinta yang semesra itu tidak akan mungkin tersua lagi rasanya seumur hidup.
(Sumber: Layar Terkembang, St. Takdir Alisjahbana)
Kalian telah menyimak sepenggal kutipan novel di atas. Untuk menjelaskan karakteristik novel tahun 1920-an, kalian perlu membaca novel Layar Terkembang secara keseluruhan. Selain membaca novel Layar Terkembang, kalian juga perlu untuk membaca karya sastra novel 20-an yang lain.
Setelah menyimak pembacaan kutipan novel di atas, kalian dapat mengidentifikasi ciri-ciri sastra periode tahun 1920-an berdasarkan bahasa yang digunakan, sifat-sifat tokoh yang terdapat pada kutipan, serta kesimpulan isi kutipan novel tersebut sebagai berikut.
1. Ciri-ciri sastra periode tahun 1920-an (novel zaman Balai Pustaka-Pujangga Baru) sebagai berikut.
a. Sudah mulai tampak cita-cita organisasi yang mengarah pada semangat membentuk persatuan Indonesia.
b. Tema cerita sudah tidak lagi bergulat pada hal-hal yang sifatnya pertentangan adat, tetapi sudah mulai memunculkan masalah emansipasi wanita dan kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan wanita dalam membangun bangsa. Bahkan oleh Amal Hamzah disebutkan bahwa isi Layar Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana adalah Perempuan Indonesia Modern.
c. Terlihat semangat mendidik dan mengajar di samping menghibur.
2. Dari pembacaan kutipan novel tersebut, sifat tokoh yang paling terlihat menonjol adalah Tuti, yang diceritakan sebagai sosok wanita yang sedang dilanda kebingungan, karena harus memilih antara cinta (sesuai dengan kodratnya sebagai seorang wanita) atau memilih meneruskan perjuangan organisasi pergerakannya dalam upaya membangun bangsa. Selain itu, diceritakan juga sifat Supomo yang dengan tulus ikhlas mencintai Tuti dan menunggu jawaban atas pernyataan cinta yang telah diungkapkannya.
3. Isi novel ini adalah mengenai perjuangan yang dilakukan oleh seorang perempuan yang tengah merasa bimbang terhadap pikiran dan hatinya. Tokoh Tuti dikisahkan tengah mengalami kegelisahan perihal perasaan cintanya kepada Supomo. Secara tidak langsung, isi kutipan novel tersebut juga mengungkapkan adanya kehidupan wanita modern.
Apabila dibandingkan dengan novel seangkatan lainnya, misalnya novel Azab dan Sengsara, karya Merari Siregar, maka terdapat perbedaan dan persamaannya.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tema. Tema dalam novel Azab dan Sengsara masih menampilkan pertentangan adat, belum menampakkan masalah emansipasi. Perjodohan orang tua diangkat dalam novel ini. Ini berbeda sekali dengan novel Layar Terkembang.
Adapun persamaan kedua novel tersebut adalah penggunaan bahasanya yang khas dan tidak padat, bersifat kedaerahan, dan mengangkat tema masalah percintaan.
Secara umum karakteristik sastra novel 20-an antara lain berikut.
a. Sudah mulai tampak cita-cita organisasi yang mengarah kepada semangat membentuk persatuan Indonesia.
b. Tema cerita memunculkan masalah emansipasi wanita dankesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam membangun bangsa.
c. Adanya sifat mendidik dan mengajar.
a. Sudah mulai tampak cita-cita organisasi yang mengarah kepada semangat membentuk persatuan Indonesia.
b. Tema cerita memunculkan masalah emansipasi wanita dankesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam membangun bangsa.
c. Adanya sifat mendidik dan mengajar.
Sekian pembahasan mengenai Mengidentifikasi Karakteristik Novel Periode 20–30-an dan juga tentang cara mengidentifikasi ciri-ciri sastra lama novel periode 1920–1930-an berdasarkan bahasa yang digunakan, menentukan sifat-sifat tokoh, serta menyimpulkan isi novel, semoga dapa membantusobat dalam proses belajar.