Menulis Cerpen berdasarkan Peristiwa yang Dialami - Menulis atau mengarang adalah proses kreatif dalam berkarya. Kalian harus selalu berlatih menulis, agar kalian dapat menuangkan segala ide, gagasan, dan pikiran yang ada dalam diri kalian. Kalian harus tahu bahwa keterampilan menulis tidak dapat dilakukan dengan begitu saja tanpa berlatih dengan tekun. Apalagi dalam menulis karya sastra, jika terus dilakukan, selain mengasyikkan juga akan menghasilkan karya yang baik.
Pelajarilah dahulu penggalan naskah cerpen berikut dan penjelasannya sebagai referensi kalian dalam menulis cerpen!
RUMAH
Karya: Kuntowijoyo
Menurut hemat saya, kami sungguh beruntung mendapatkan rumah itu. Sambil mengancungkan jempol perantara mengatakan, “Inilah rumah terbaik yang pernah saya perantai.” “Murah.””Luas.” “Strategis.” Memang rumah itu halamannya luas dan rindang dengan pohon melinjo, mangga, belimbing, dan nangka. Kalau kami mau, dapat saja kami membuat jala dari tali-tali plastik antara pohon mangga dan nangka.
Di situ kami dapat beristirahat, tiduran, atau membaca-baca. Halaman itu masih tersisa banyak, bisa untuk dibuat tempat badminton, bola voli, atau bola basket. Letaknya memang agak di pinggiran kota, tetapi fasilitasnya sangat memadai, ada listrik.
Listrik dapat disulap jadi apa saja: kulkas, air, TV, dan komputer. Ada jalan desa di depan rumah, tapi karena desa di pinggiran kota, jadi terhitung lebar. Dengan pertimbangan itulah kami memutuskan untuk tinggal di sana. Kami membayar sewa untuk tiga tahun sekaligus. Itu terasa murah sebab kami masih menyimpan dolar sisa uang tugas belajar dan kerja istri sebagai TKW penjaga toko di negeri orang.
Akan tetapi, dua minggu setelah menghuni, istri saya berpikir lain. Sepulang dari arisan RT istri saya bilang, “Wah, kita tertipu!” Dia lalu menunjuk ke rumah kosong di tepi jalan yang tepat di samping kami.
“Rumah itu tidak beratap, tidak berpenghuni, tidak terawat. Tembok-temboknya berlumut, rumput tumbuh seenaknya, pintu dan jendela dicopot. Sumurnya banyak ditumbuhi pohonan perdu. MCK tidak beratap tidak berpintu.”
“Ya, kenapa?” tanya saya.
“Apa sebab rumah itu ditinggalkan, atapnya tidak ada lagi, jendela-pintu dicopot?”
Saya mengangkat bahu.
“Tetangga-tetangga bilang, mmm, ada orang bunuh diri menggantung di rumah itu.” Tegak juga bulu roma saya mendengar kata “Menggantung”, tapi sebagai laki-laki saya tidak boleh bernyali kecil. Lalu kata saya, “Menggantung? Begini?” Saya melotot, menjulurkan lidah keluar, badan dilemaskan, pura-pura mau terjatuh. “Jangan didengar omongan orang, itu dulu kala!”
Kabarnya pernah pemilik rumah mengundang orang pintar untuk mengusir lelembut, roh halus, jin, atau hantu dari rumah itu. Tetapi orang pintar itu tidak berhasil, menyatakan dengan jujur kalau kepandaiannya tidak memadai. Karena orang pintar sudah puncaknya mengusir jin, maka pemilik rumah putus asa. Mencopoti atap, pintu, dan jendela itu adalah saran dari pengusir jin. Maksudnya supaya jin terkecoh seolah-olah itu bukanlah rumah, sebab matahari, hujan, dan angin dapat bebas keluar-masuk.
Saya pikir-pikir, benar juga kata orang. Pantas sewa rumah kami murah, pantas rumah itu dikosongkan, pantas tidak ada yang menyewa tempat itu. Padahal letaknya strategis, dekat dengan dua kampus PTS, banyak mahasiswa cari kos, dapat dibuat rumah makan, katering, servis setrika, reparasi motor, atau lainnya.
Malam harinya, kalau kebetulan saya pulang malam, saya pasti melirik rumah itu sekedar untuk mengingat bahwa di situ pernah ada orang mati menggantung. Ketika dapat giliran siskamling, orang-orang pasti mengatur keliling supaya tidak lewat rumah itu. Saya kadang-kadang bangga karena orang menilai kami pemberani. Dalam pertemuan RT, orang akan menyebut nama dan alamat saya keras-keras, ditambah ungkapan “Dekat rumah kosong”. Orang pun ada yang lalu ckck, tapi ada yang lantas berkomentar, “Wah, pemberani!” Orang tidak tahu bahwa semakin tinggi pujian orang, hati saya semakin sakit.
Suatu hari anak kami yang berumur sepuluh tahun sakit panas. Ia mengigau, kata-kata yang tak jelas hubungannya. Kami memberinya paracetamol dan madu. Tapi, panasnya tidak juga menurun. Entah bagaimana dia berpikir, istri saya segera menghubungkan sakit anak kami dengan rumah kosong itu. Ketika anak saya bisa diajak bicara, istri bertanya mendesak, ”Kau tadi main-main ke rumah kosong itu?” anak saya mengangguk. “Jelas sudah,” kata istri saya. Ketika saya pulang kerja, saya dapati anak kami tidur pulas, memakai sesuatu berwarna kuning di dahinya. ”Apa ini?” tanya saya.
“Itu penolak sawan,” kata istri. Sawan artinya pengaruh buruk. Ternyata pagi harinya istri saya menghentikan mbakyu penjual jamu gendongan dan memesan empon-empon penolak sawan. Sebagian sudah dipakai, sebagian disimpan di kulkas. Itu pasti ilmu yang dibawanya dari rumah orang tuanya.
“Ini tidak boleh,” kata saya.
“Kenapa?”
“Takhayul.”
“Takhayul atau bukan, pokoknya anak tertidur pulas.”
“Kalau hanya diberi empon-empon, kita akan lupa sebab yang sesungguhnya.”
“Makanya kemudian kita ke dokter.”
Cerita pendek di atas merupakan cerita mengenai pengalaman hidup seseorang “saya”. Penulis memosisikan sebagai orang pertama dalam menceritakan sesuatu yang dialami. Dalam cerita tersebut, “saya” mengungkapkan pengalaman hidupnya bersama istri dan anaknya.
Beberapa unsur cerpen telah kalian ketahui, misalnya tema, alur peristiwa, plot, latar, penokohan, dan gaya bahasa. Dari cerpen di atas, dapat kalian soroti beberapa unsur pentingnya saja, seperti berikut.
Nah, sekarang kalian sudah mengetahui unsur-unsur yang terdapat dalam cerpen. Kalian perlu mengingat unsur-unsur tersebut dan menerapkannya ketika mengarang cerita pendek. Mulailah dengan pengalaman atau peristiwa yang berkesan atau pengetahuan yang sangat kalian kuasai. Kalian dapat mengambilnya sebagai tema cerita.
Setelah mempersiapkan tema yang akan kalian tulis, supaya kalian tidak lupa dalam mengembangkannya, buatlah dahulu konsep tokoh-tokoh yang akan disajikan beserta karakternya. Kemudian kalian siapkan konsep alur yang akan dikembangkan, apakah alur maju, alur mundur, atau gabungan keduanya. Selain itu, tetapkan pula latar yang akan diangkat dalam cerita itu, misalnya latar sosial masyarakat pedesaan, perkotaan, atau yang lainnya. Setelah persiapan itu dilakukan, mulailah menulis cerpen dengan mengandalkan imajinasi dan kreativitas bertutur.
Menulis cerpen adalah sebuah proses kreatif. Oleh karena itu, menulis cerpen tidak akan satu kali jadi. Mungkin saja konsep awal sebuah cerpen sudah selesai, tapi memerlukan pengoreksian ulang agar penataan unsur-unsur sastra dalam cerpen menarik.
Namun pada saat menulis cerpen, ketika menuangkan gagasan dan imaji ke dalam bentuk tulisan, jangan disela dengan mengoreksi diksi dan bahasa dahulu. Lakukan koreksi tersebut setelah cerpen selesai ditulis supaya tidak mengganggu upaya untuk menuangkan gagasan demi gagasan. Melalui gagasan dan sentuhan itulah pengarang dapat menyampaikan pesan kepada pembaca.
Setiap pengalaman akan membawa kesan dan hikmah tersendiri bagi pelakunya. Pengalaman ada yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pengalaman lahiriah diperoleh pelaku secara fisik langsung dengan mengalami peristiwa yang dialaminya. Sementara pengalaman batiniah biasanya dapat diperoleh melalui perjalanan batiniah seseorang, misalnya melalui membaca buku, mendengarkan cerita pengalaman orang lain, menyaksikan peristiwa yang berkesan, dan lain sebagainya. Semuanya itu merupakan bahan atau bekal dalam proses perenungan seseorang. Hasil perenungan semacam ini seringkali mengilhami para penulis/sastrawan untuk menghasilkan karya-karyanya.
Sekian pembahasan mengenai Menulis Cerpen berdasarkan Peristiwa yang Dialami, semoga bermanfaat.
Menulis Cerpen berdasarkan Peristiwa yang Dialami
Pada pembelajaran kali ini, kalian harus dapat menguasai beberapa kemampuan, seperti mengeskpresikan gagasan dalam bentuk cerpen dengan mengembangkan (1) penokohan, (2) alur, (3) latar, (4) sudut pandang serta mengindentifikasi komponen kesastraan cerpen.Pelajarilah dahulu penggalan naskah cerpen berikut dan penjelasannya sebagai referensi kalian dalam menulis cerpen!
Menulis Cerpen berdasarkan Peristiwa yang Dialami |
RUMAH
Karya: Kuntowijoyo
Menurut hemat saya, kami sungguh beruntung mendapatkan rumah itu. Sambil mengancungkan jempol perantara mengatakan, “Inilah rumah terbaik yang pernah saya perantai.” “Murah.””Luas.” “Strategis.” Memang rumah itu halamannya luas dan rindang dengan pohon melinjo, mangga, belimbing, dan nangka. Kalau kami mau, dapat saja kami membuat jala dari tali-tali plastik antara pohon mangga dan nangka.
Di situ kami dapat beristirahat, tiduran, atau membaca-baca. Halaman itu masih tersisa banyak, bisa untuk dibuat tempat badminton, bola voli, atau bola basket. Letaknya memang agak di pinggiran kota, tetapi fasilitasnya sangat memadai, ada listrik.
Listrik dapat disulap jadi apa saja: kulkas, air, TV, dan komputer. Ada jalan desa di depan rumah, tapi karena desa di pinggiran kota, jadi terhitung lebar. Dengan pertimbangan itulah kami memutuskan untuk tinggal di sana. Kami membayar sewa untuk tiga tahun sekaligus. Itu terasa murah sebab kami masih menyimpan dolar sisa uang tugas belajar dan kerja istri sebagai TKW penjaga toko di negeri orang.
Akan tetapi, dua minggu setelah menghuni, istri saya berpikir lain. Sepulang dari arisan RT istri saya bilang, “Wah, kita tertipu!” Dia lalu menunjuk ke rumah kosong di tepi jalan yang tepat di samping kami.
“Rumah itu tidak beratap, tidak berpenghuni, tidak terawat. Tembok-temboknya berlumut, rumput tumbuh seenaknya, pintu dan jendela dicopot. Sumurnya banyak ditumbuhi pohonan perdu. MCK tidak beratap tidak berpintu.”
“Ya, kenapa?” tanya saya.
“Apa sebab rumah itu ditinggalkan, atapnya tidak ada lagi, jendela-pintu dicopot?”
Saya mengangkat bahu.
“Tetangga-tetangga bilang, mmm, ada orang bunuh diri menggantung di rumah itu.” Tegak juga bulu roma saya mendengar kata “Menggantung”, tapi sebagai laki-laki saya tidak boleh bernyali kecil. Lalu kata saya, “Menggantung? Begini?” Saya melotot, menjulurkan lidah keluar, badan dilemaskan, pura-pura mau terjatuh. “Jangan didengar omongan orang, itu dulu kala!”
Kabarnya pernah pemilik rumah mengundang orang pintar untuk mengusir lelembut, roh halus, jin, atau hantu dari rumah itu. Tetapi orang pintar itu tidak berhasil, menyatakan dengan jujur kalau kepandaiannya tidak memadai. Karena orang pintar sudah puncaknya mengusir jin, maka pemilik rumah putus asa. Mencopoti atap, pintu, dan jendela itu adalah saran dari pengusir jin. Maksudnya supaya jin terkecoh seolah-olah itu bukanlah rumah, sebab matahari, hujan, dan angin dapat bebas keluar-masuk.
Saya pikir-pikir, benar juga kata orang. Pantas sewa rumah kami murah, pantas rumah itu dikosongkan, pantas tidak ada yang menyewa tempat itu. Padahal letaknya strategis, dekat dengan dua kampus PTS, banyak mahasiswa cari kos, dapat dibuat rumah makan, katering, servis setrika, reparasi motor, atau lainnya.
Malam harinya, kalau kebetulan saya pulang malam, saya pasti melirik rumah itu sekedar untuk mengingat bahwa di situ pernah ada orang mati menggantung. Ketika dapat giliran siskamling, orang-orang pasti mengatur keliling supaya tidak lewat rumah itu. Saya kadang-kadang bangga karena orang menilai kami pemberani. Dalam pertemuan RT, orang akan menyebut nama dan alamat saya keras-keras, ditambah ungkapan “Dekat rumah kosong”. Orang pun ada yang lalu ckck, tapi ada yang lantas berkomentar, “Wah, pemberani!” Orang tidak tahu bahwa semakin tinggi pujian orang, hati saya semakin sakit.
Suatu hari anak kami yang berumur sepuluh tahun sakit panas. Ia mengigau, kata-kata yang tak jelas hubungannya. Kami memberinya paracetamol dan madu. Tapi, panasnya tidak juga menurun. Entah bagaimana dia berpikir, istri saya segera menghubungkan sakit anak kami dengan rumah kosong itu. Ketika anak saya bisa diajak bicara, istri bertanya mendesak, ”Kau tadi main-main ke rumah kosong itu?” anak saya mengangguk. “Jelas sudah,” kata istri saya. Ketika saya pulang kerja, saya dapati anak kami tidur pulas, memakai sesuatu berwarna kuning di dahinya. ”Apa ini?” tanya saya.
“Itu penolak sawan,” kata istri. Sawan artinya pengaruh buruk. Ternyata pagi harinya istri saya menghentikan mbakyu penjual jamu gendongan dan memesan empon-empon penolak sawan. Sebagian sudah dipakai, sebagian disimpan di kulkas. Itu pasti ilmu yang dibawanya dari rumah orang tuanya.
“Ini tidak boleh,” kata saya.
“Kenapa?”
“Takhayul.”
“Takhayul atau bukan, pokoknya anak tertidur pulas.”
“Kalau hanya diberi empon-empon, kita akan lupa sebab yang sesungguhnya.”
“Makanya kemudian kita ke dokter.”
Cerita pendek di atas merupakan cerita mengenai pengalaman hidup seseorang “saya”. Penulis memosisikan sebagai orang pertama dalam menceritakan sesuatu yang dialami. Dalam cerita tersebut, “saya” mengungkapkan pengalaman hidupnya bersama istri dan anaknya.
Beberapa unsur cerpen telah kalian ketahui, misalnya tema, alur peristiwa, plot, latar, penokohan, dan gaya bahasa. Dari cerpen di atas, dapat kalian soroti beberapa unsur pentingnya saja, seperti berikut.
1. Tema
Tema cerpen di atas adalah tentang pemahaman pengetahuan keagamaan dan kebiasaan atau budaya masyarakat yang sulit diubah. Pengarang melukiskan suatu sudut kehidupan kota, sementara kehidupan dan budaya desa masih dirindukan.2. Alur Peristiwa
Rangkaian peristiwa yang disajikan pengarang dimulai dari peristiwa awal yang melukiskan pengalaman tokoh utama, kemudian berangkai dengan peristiwa-peristiwa berikutnya, sehingga cerita menjadi utuh. Tokoh utama mengalami seluruh peristiwa dari awal sampai pada akhir cerita.3. Latar
Latar tempat cerpen di atas adalah suatu kota dengan kehidupannya. Latar yang dilukiskan pengarang ditunjang pula dengan latar waktu, latar suasana, dan latar sosial atau sudut kehidupan.Nah, sekarang kalian sudah mengetahui unsur-unsur yang terdapat dalam cerpen. Kalian perlu mengingat unsur-unsur tersebut dan menerapkannya ketika mengarang cerita pendek. Mulailah dengan pengalaman atau peristiwa yang berkesan atau pengetahuan yang sangat kalian kuasai. Kalian dapat mengambilnya sebagai tema cerita.
Setelah mempersiapkan tema yang akan kalian tulis, supaya kalian tidak lupa dalam mengembangkannya, buatlah dahulu konsep tokoh-tokoh yang akan disajikan beserta karakternya. Kemudian kalian siapkan konsep alur yang akan dikembangkan, apakah alur maju, alur mundur, atau gabungan keduanya. Selain itu, tetapkan pula latar yang akan diangkat dalam cerita itu, misalnya latar sosial masyarakat pedesaan, perkotaan, atau yang lainnya. Setelah persiapan itu dilakukan, mulailah menulis cerpen dengan mengandalkan imajinasi dan kreativitas bertutur.
Menulis cerpen adalah sebuah proses kreatif. Oleh karena itu, menulis cerpen tidak akan satu kali jadi. Mungkin saja konsep awal sebuah cerpen sudah selesai, tapi memerlukan pengoreksian ulang agar penataan unsur-unsur sastra dalam cerpen menarik.
Namun pada saat menulis cerpen, ketika menuangkan gagasan dan imaji ke dalam bentuk tulisan, jangan disela dengan mengoreksi diksi dan bahasa dahulu. Lakukan koreksi tersebut setelah cerpen selesai ditulis supaya tidak mengganggu upaya untuk menuangkan gagasan demi gagasan. Melalui gagasan dan sentuhan itulah pengarang dapat menyampaikan pesan kepada pembaca.
Setiap pengalaman akan membawa kesan dan hikmah tersendiri bagi pelakunya. Pengalaman ada yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pengalaman lahiriah diperoleh pelaku secara fisik langsung dengan mengalami peristiwa yang dialaminya. Sementara pengalaman batiniah biasanya dapat diperoleh melalui perjalanan batiniah seseorang, misalnya melalui membaca buku, mendengarkan cerita pengalaman orang lain, menyaksikan peristiwa yang berkesan, dan lain sebagainya. Semuanya itu merupakan bahan atau bekal dalam proses perenungan seseorang. Hasil perenungan semacam ini seringkali mengilhami para penulis/sastrawan untuk menghasilkan karya-karyanya.
Sekian pembahasan mengenai Menulis Cerpen berdasarkan Peristiwa yang Dialami, semoga bermanfaat.