Mengidentifikasi Kebiasaan, Adat, dan Etika dalam Novel Angkatan 20–30-an

Mengidentifikasi Kebiasaan, Adat, dan Etika dalam Novel Angkatan 20–30-an - Pada pembahasan materi Bahasa Indonesia kali ini mengenai kebiasaan yang sering dipakai, adat dan etika dalam novel angkatan 1920-1930an berikut dengan contoh novelnya, dilengkapi pula dengan kesimpulan dari isi novel, serta arti dari ungkapan pribahasa yang terdapat di dalam novel, untuk lebih jelasnya dapat disimak dalam penjelasan berikut ini!

Mengidentifikasi Kebiasaan, Adat, dan Etika dalam Novel Angkatan 20–30-an

Pernahkah kalian mendengar kisah novel “Siti Nurbaya”? Pasti kalian akan langsung teringat mengenai sebuah kisah dalam sastra lama yang menarik, bukan? Pada pembelajaran ini, kita akan mempelajari novel sastra Indonesia tahun 20 sampai 30-an.

Novel adalah karangan prosa yang panjang, yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orangorang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Dibandingkan dengan roman, model penceritaan novel tidak begitu terperinci. Ciri khas novel yaitu adanya perubahan nasib tokoh yang diceritakan.

Sejarah novel Indonesia diawali sekitar tahun 1920-an, dengan pengarang seperti Marah Rusli, Merari Siregar, Sultan Takdir Alisjahbana, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Jamaluddin (Adinegoro), Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Sariamin (Selasih/Seleguri), Suman Hs. (Hasibuan), Tulis Sutan Sati, Mohammad Kasim, dan Aman Datuk Madjoindo. Novel Indonesia tahun 1920 sampai 1930-an termasuk dalam angkatan Balai Pustaka.
Mengidentifikasi Kebiasaan, Adat, dan Etika dalam Novel Angkatan 20–30-an
Mengidentifikasi Kebiasaan, Adat, dan Etika dalam Novel Angkatan 20–30-an

Balai Pustaka merupakan sebuah komisi (Commissie voorchet volkslectuur) yang didirikan pada tanggal 14 September 1908.

Tujuan pendirian Balai Pustaka adalah
(1) memberi bacaan kepada rakyat untuk menyaingi penerbitan Cina, yang dianggap membahayakan pemerintah Belanda serta
(2) memasukkan tujuan utama pihak penjajah ke dalam jiwa bangsa Indonesia.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa syarat naskah yang masuk ke Balai Pustaka, yakni netral dari agama, tidak mengandung politik, dan tidak menyinggung kesusilaan.

Guna meningkatkan pemahaman kalian tentang novel Indonesia tahun 1920 sampai 1930-an dan meningkatkan keterampilan apresiasi kalian, bacalah kutipan novel berikut.
------------------------
“Ayah sudah datang sajikanlah nasi itu Mak, saya pun sudah lapar,” kata Mariamin, budak yang berusia tujuh tahun itu.

“Baik,” jawab si ibu, lalu meletakkan tikar yang tengah dianyamnya. “Panggillah ayahmu, supaya kita bersama-sama makan. Ini sudah hampir setengah delapan, nanti Riam terlambat datang ke sekolah.”

Setelah itu Mariamin pun pergilah ke bawah mendapatkan ayahnya. Ibunya pergi ke kamar makan menyediakan makanan untuk mereka itu anak-beranak. Tiada berapa lama Mariamin datang seraya berkata, “Ayah belum hendak makan.”

“Di manakah ia sekarang?” tanya si ibu.

“Di muka rumah itu, lagi bercakap-cakap dengan orang lain. Ia sudah kupanggil, tetapi ia menyuruh saya makan dahulu.”

“Baiklah, anakku dahulu makan, hari sudah tinggi. Ibulah nanti kawan ayahmu makan.”

Sedang anak itu makan, maka ibunya meneruskan pekerjaannya, menganyam tikar. Meskipun ia dapat membeli tikar di pasar dengan uang dua rupiah, tiadalah suka ia mengeluarkan uangnya, kalau tidak perlu. Benar uang dua rupiah itu tiada seberapa, bila dibandingkan dengan kekayaan mereka itu. Tetapi ia seorang perempuan dan ibu sejati.

Bukanlah orang miskin saja yang harus berhemat, orang yang berada pun patut demikian juga. Daripada uang dikeluarkan dengan percuma, lebih baik diberikan kepada orang yang papa. Demikianlah pikiran Mak Mariamin. Anaknya itu pun diajarkan berpikiran demikian; bibit hati kasihan ditanamkannya ke dalam kalbu anaknya itu. Betul itu tiada susah baginya, karena anaknya itu lahir membawa tabiat si ibu. Syukur tiada seperti si bapak, orang yang kurang beradab itu. Tadi pagi sebelum Mariamin makan, ibunya telah menyuruh dia membawa beras dan ikan serta beberapa butir telur kepada seorang perempuan tua yang amat miskin.

Tempatnya ada sekira-kira sepal dari rumahnya. Oleh sebab melalui jalan yang sejauh itulah, maka Mariamin jadi lapar, sebagai katanya tadi. Pekerjaan itu, yakni mengantar-antarkan sedekah ke rumah orang lain, tiadalah paksaan bagi Mariamin, tetapi itulah kesukaannya. Kadang-kadang ia tegur ibunya, sebab terlampau lama tinggal bercakap-cakap di rumah orang yang menerima pembawaannya itu. Mariamin amat bersenang hati campur gaul dengan orang miskin, tiadalah pernah ia memandang orang yang serupa itu dengan hati yang jijik sebagai beribu-ribu anak orang kaya.

“Riam, Riam!” panggil seorang budak laki-laki dari bawah. Mariamin berlari ke jendela itu, karena suara itu telah dikenalnya. Dengan tersenyum ia berkata.

“Naiklah sebentar Angkang, saya hendak bertukar baju lagi.”

“Lekaslah sedikit, Riam, biarlah kunanti di sini. Ia sudah hampir masuk sekolah, kawan-kawan sudah dahulu,” jawab Aminu'ddin, seraya ia melihat matahari yang sedang naik itu. Takutlah ia, kalau-kalau akan terlambat.

Setelah Mariamin turun, mereka itu pun berjalanlah bersama-sama menuju rumah sekolah, dengan langkah yang cepat. Budak yang dua itu berjalan serta dengan riangnya, tiada ubahnya sebagai orang yang bersaudara yang karib. Persahabatan siapa lagi yang lebih rapat daripada mereka itu; bukankah mereka itu masih dekat lagi dengan perkaumannya? Kelakuan mereka itu pun bersamaan, yang seorang setuju dengan kehendak seorang. Lebih karib dan rapat lagi mereka itu, sesudah Aminu'ddin melepaskan adiknya itu daripada bahaya banjir dahulu itu.

Mariamin adalah seorang anak yang cerdik, pengiba, dan suka berpikir. Hal ini ternyata dari pertanyaan-pertanyaannya yang selalu dikemukakannya kepada ibunya, tatkala mereka itu pada suatu ketika duduk di hadapan rumah mereka. Barang apa yang dilihatnya selalu diperhatikannya, dan kalau ia tak mengerti atau tiada dapat menimbang sesuatu hal yang dilihatnya itu, ia pun pertanyakan kepada ibunya.

“Mak, apakah sebabnya kita kaya, dan ibu si Batu amat miskin? Makanan mereka itu hanya ubi, jarang-jarang ibunya bertanak nasi, kalau tiada bersedekah orang. Bukankah Mak sebutkan dahulu: Tuhan pengiba; kalau begitu, mengapa mereka semiskin itu?” demikianlah pertanyaan Mariamin kepada ibunya.

Si ibu tercengang sebentar mendengar perkataan anak itu. Ia tersenyum seraya bertanya, “Dari manakah anak tahu, bahwa kita kaya?”

“Kita kaya; sawah lebar, kerbau banyak, dan uang ayah pun banyak, demikianlah kata orang saya dengar. Tiada benarkah itu, Mak?”

Budak itu memegang tangan ibunya, seraya memandang mukanya dengan pandang yang lemah. Ibunya memeluk dan mencium cahaya matanya itu, seraya berkata: “Ibu tidak menidakkan pemberian Allah, nafkah kita cukup selamanya, dan Riam lebih daripada permata yang mahal bagi ibu.”

Sudah tentu si anak itu kurang mengerti akan ibunya itu. Sebab itu, ia melihat muka ibunya lagi dengan herannya. “Anakku bertanya tadi, apa sebabnya ada orang kaya dan ada pula orang miskin, sedang Tuhan itu menyayangi sekalian yang diadakan-Nya. Apa sebabnya, orang kaya itu kaya, ada. Ibu sudah berkata dahulu, Tuhan itu amat menyayangi manusia itu, bukan?”

“Ya, Mak!” sahut Mariamin, “Bagus. Allah yang Rahim amat mencintai hambanya. Oleh sebab itu, haruslah manusia itu menaruh sayang kepada sesamanya manusia. Mereka itu harus tolong-menolong. Riam berkata tadi ibu si Batu miskin, kita kaya. Jadi sepatutnya bagi kita menolong mereka itu, itulah kesukaan Allah. Riam pun haruslah mengasihi orang yang papa lagi miskin, dan rajin disuruh Mak mengantarkan makanan ke rumah orang yang serupa itu. Sudahkah mengerti Riam, apa sebabnya orang kaya itu kaya?”

“Sudah, yakni akan menolong manusia yang miskin,” sahut si anak yang cerdik itu.

“Benar, begitulah kehendak Allah!” kata si ibu serta mencium kening anaknya itu berulang-ulang, matanya basah oleh air mata; dalam hatinya berkata, “Mudah-mudahan Allah memeliharakan anakku ini dan memberikan hati yang pengiba bagi dia.” (Azab dan Sengsara, 2001:81-84)
-----------------------------

Berdasarkan kutipan novel tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Kebiasaan, adat, dan etika yang terdapat dalam kutipan novel adalah berikut.
a. Budaya makan keluarga selalu dilakukan bersama-sama (lengkap; ayah, ibu, dan anak). Jika ada sesuatu hal yang di luar kebiasaan terjadi, maka anak diperbolehkan makan terlebih dahulu. Sementara istri harus tetap mengunggu suaminya. Kutipannya sebagai berikut.
“Ayah sudah datang, sajikanlah nasi itu Mak, saya pun sudah lapar,” …
“Baik, … Panggillah ayahmu, supaya kita bersama-sama makan …”
“Ayah belum hendak makan” … “Baiklah anakku dahulu makan, hari sudah tinggi. Ibulah nanti kawan ayahmu makan.”


b. Anak harus menurut perintah ibunya. Kutipannya sebagai berikut.
“Pekerjaan itu, yakni mengantar-antarkan sedekah ke rumah orang lain, tiadalah paksaan bagi Mariamin …”
“Jadi sepatutnya bagi kita menolong mereka itu, itulah kesukaan Allah. Riam pun haruslah mengasihi orang yang papa lagi miskin, dan rajin disuruh Mak mengantarkan makanan ke rumah yang serupa itu.”


2. Perasaan dan pola pikir yang digunakan dalam novel sangat sederhana dan sesuai dengan realitas. Hal ini ditunjukkan saat Ibu Mariamin menjelaskan kepada Mariamin tentang mengapa ada orang kaya dan mengapa ada orang miskin. Penjelasan tersebut diungkapkan secara sederhana, bijaksana, dan masuk akal.

3. Keterkaitan isi kutipan novel dengan kehidupan masa kini
  • Kebersamaan dalam keluarga harus dibina sejak anak-anak masih berusia dini. Contoh: makan bersama adalah kesempatan keluarga untuk dapat berkumpul bersama.
  • Hidup hemat juga harus diterapkan dalam kehidupan keluarga sehingga mampu menjadi teladan bagi si anak. Contoh: Ibu Mariamin meneladankan sikap dan perilaku hemat dengan memilih menganyam tikar daripada membelinya di pasar.
  • Menanamkan nilai tolong-menolong kepada anak dapat dilakukan dengan cara orang tua memberikan teladan sikap dan perilaku. Contoh: Ibu Mariamin sering meminta anaknya mengantarkan makanan ke rumah orang yang miskin.
  • Menanamkan nilai-nilai persamaan derajat juga dapat dilakukan sejak anak masih berusia dini. Contoh: Mariamin (anak orang kaya) bersahabat karib dengan Aminu'ddin (anak orang miskin).
Dalam mengidentifikasi kebiasaan, adat, dan etika yang terdapat dalam novel angkatan 20 sampai 30-an, kalian dapat melihat nilai historis yang terdapat dalam kutipan novel tersebut. Selain itu, kalian juga dapat mengidentifikasikannya dari ungkapan peribahasa yang terdapat dalam kutipan novel.

Berikut dijelaskan nilai historis dan ungkapan peribahasa yang terdapat dalam kutipan novel Azab dan Sengsara.
1. Nilai historis yang terdapat dalam kutipan novel
Sekolah zaman dulu adalah SR (Sekolah Rakyat). Sekolah ini diperuntukkan bagi anak orang kaya, dan anak bangsawan. Berdasarkan catatan sejarah diketahui bahwa pendirian sekolah ini sebagai akibat dijalankannya politik balas budi (politik etik) pemerintah Belanda sejak tahun 1918. Dengan adanya Sekolah Rakyat ini memberikan kesempatan bagi kalangan pribumi untuk belajar membaca dan menulis. Setelah mereka pandai, kelak akan dijadikan pegawai pemerintah Belanda.

2. Ungkapan peribahasa yang terdapat dalam kutipan novel
a. “Hemat pangkal kaya, sia-sia utang tumbuh” artinya kalau hendak kaya harus pandai berhemat, sebab kalau boros tentu terjerumus ke dalam utang.
b. “Hendak kaya berdikit-dikit, hendak mulia bertabur urai” artinya kalau ingin kaya, harus pandai berhemat; kalau ingin jadi orang terpandang wajib suka berdana.
c. “Hancur badan di kandung tanah, budi baik dikenang jua” artinya budi bahasa yang baik takkan mudah dilupakan orang.
d. “Alang berjawat, tepuk berbalas” artinya baik dibalas dengan baik, jahat dibalas dengan jahat.
e. “Kecil teranja-anja, besar terbawa-bawa” artinya apabila selagi kecil dimanjakan, sudah besar akan bermanja-manja.
f. “Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga” artinya sifat anak tak jauh dari sifat orang tuanya.
g. “Di mana ranting dipatah, di situ air disauk” artinya hendaklah kita menurut adat-istiadat negeri tempat kita tinggal.
h. “Guru makan berdiri, murid makan berlari” artinya kelakuan guru/orang tua selalu diturut murid/anaknya.
i. “Tuntut ilmu dari ayunan sampai ke liang kubur” artinya belajarlah selalu sejak muda sampai tua.

Sekian pembahasan mengenai Mengidentifikasi Kebiasaan, Adat, dan Etika dalam Novel Angkatan 20–30-an dan juga contoh novel, dilengkapi pula dengan kesimpulan dari isi novel, serta arti dari ungkapan pribahasa yang terdapat di dalam novel, selamat belajar!